top of page
mediarasa

Reportase Maiyah | Abu Lahap: Kapitalisasi dan Satirisme Rabiah

Updated: Jan 3, 2019

Oleh: Kang Aly


Suatu kehormatan bagi seluruh civitas UINSA, khususnya dulur-dulur Lingkar Maiyah UINSA dan kawan-kawan dari DEMA Fakultas Tarbiyah-Keguruan karena didapuk sebagai tuan rumah diskusi publik oleh Majelis Masyarakat Maiyah Bangbang Wetan pada Senin malam (24/12)—persis pada malam misa Natal.


Sebelum lebih jauh saya berbicara terkait isi daripada forum ini, agaknya ada yang perlu diklarifikasi dan diidentifikasi lebih esensial lagi untuk mengurangi potensi penokohan-penokohan yang terjadi dalam lingkaran Maiyah.


Gestur kecewa terlihat dari beberapa jamaah dan berangsur-angsur mulai banyak yang meninggalkan Sport Center—lokasi digelarnya forum—ketika secara tegas Mas Yasin dan Kiai Muzammil memberitahu bahwa Cak Nun berhalangan hadir. Kiai Muzammil kemudian mengajak jamaah untuk sedikit merenungkan bahwa tidak hadirnya Cak Nun malam itu adalah untuk menguji kesetiaan jamaah Maiyah. Meminjam istilah Mas Yasin, Maiyah itu bukan Cak Nun-isme. Jadi dengan atau tanpa Cak Nun, Maiyah harus tetap berjalan.


Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Cak Nun-isme nyatanya sudah merambah di kalangan jamaah Maiyah (non-tulen). Jika melihat dari banyaknya jamaah yang memutuskan pergi meninggalkan forum beberapa saat setelah Cak Nun dipastikan tidak bisa rawuh, maka jelas memang ada mindset yang harus diubah.


Dari tiga penggede Maiyah yang dijadwalkan hadir—Cak Nun, Sabrang (Noe Letto), dan Kiai Muzammil (Madura). Kebetulan hanya Kiai Muzammil yang memiliki cukup waktu untuk mendampingi arek-arek ber-Maiyah. Di lingkar Maiyah sendiri, nama Kiai Muzammil sudah cukup karib dan tidak asing.


Perlu digarisbawahi, bahwa Rasul (Saw) dan Islam adalah dua entitas yang berbeda. Maka ketika Rasul tidak ada, Islam harus tetap menyala. Begitu juga dengan Maiyah. Maiyah dan Cak Nun merupakan dua entitas yang juga berbeda. Sehingga tanpa Cak Nun, “Maiyahisme” harus tetap tumbuh di dalam jiwa kita masing-masing. Maiyah adalah jalan untuk menemukan kedaulatan kita sendiri—bukan area pengkultusan dan taklidisme. Jika kita mempersempit Maiyah dengan Cak Nun sebagai identitasnya, berarti kita masih belum bisa berdaulat—satu poin yang tidak henti-hentinya Cak Nun tanamkan pada dulur-dulur Maiyah sekalian—berdaulat dengan diri sendiri.


Abu Lahap: Kapitalisasi Global


Dulur-dulur Bangbang Wetan mengangkat tema “Abu Lahap” (pakai “P” bukan “b”) sebenarnya adalah ungkapan satiris yang menampar realitas. “Lahap” memiliki turunan sifat rakus. Dan rakus memiliki tendensitas ke arah cara hidup yang kapitalistik-materialistik.


Pola hidup seperti ini saya kira sudah menjadi “trend” di kalangan manusia modern. Banyak contoh yang bisa kita ambil. Dalam lingkup pendidikan misalnya, mayoritas pelajar mengenyam pendidikan dengan orientasi pekerjaan (saya sekolah agar dapat ijazah supaya dapat kerja enak). Alhasil lembaga-lembaga pendidikan sekarang ini tidak ubahnya sebuah mesin pabrik yang menciptakan generasi-generasi cacat. Generasi yang sejatinya belum siap menatap realitas hidup.


Atau jika saya spesifikasi ke dalam lingkup kampus. Mayoritas mahasiswa sekarang tidak utuh menanamkan Tridharma Perguruan Tinggi. Mereka hanya fokus pada kepentingan individual, sementara acuh tak acuh dengan kebutuhan kolektif. Jika bicara jujur, adakah yang lebih tinggi dari sebuah angka (nilai perkuliahan) dalam dunia kampus saat ini? Hampir tidak ada. Mayoritas hanya berebut nilai dan buta pada persoalan-persoalan sosio-humanika.


Bahkan yang lebih parah, disadari atau tidak, bertahun-tahun sebenarnya kita hidup dan dididik bertuhan secara materialistik-kapitalistik (kapitalisasi ibadah).


Bayangkan saja, kita diajari ibadah hanya untuk mencari pahala. Kita dididik menjauhi maksiat demi surga. Kita dilarang berbuat dosa dengan intimidasi neraka. Lantas di mana nilai esensial dari ibadah?. Apa yang sebenarnya kita cari dalam ibadah? Pahala? Surga? Atau Tuhan?


Kapitalisasi ibadah ini kemudian melahirkan para Abu Lahap yang ambisius terhadap pahala dan surga. Efek berikutnya adalah budaya takfirisme yang merajalela. Mengucapkan selamat Natal: dosa, neraka. Berbuat ini bid’ah, melakukan itu kafir. Seolah-olah surga hanya milik sendiri dan tidak untuk yang lain.


Tentunya banyak sekali contoh yang bisa diambil. Namun tulisan ini hanya mampu menangkap sampai sekian.

Rabiah dan Surga-Neraka


Bicara soal kapitalisasi ibadah, ingatan saya terlempar pada sebuah kisah seorang sufi perempuan dari Basrah—Rabiah al-Adawiyah. Pernah suatu ketika Rabiah membawa seember air yang ditentengnya ke sana-kemari. Kemudian ada yang bertanya, “hai Rabiah, untuk apa air itu?”. “Akan aku siram neraka dengan air ini”, jawab Rabiah.


Pernah juga suatu ketika Rabiah membawa bara api yang ditentengnya ke sana kemari. Kemudian ada yang bertanya, “hai Rabiah, untuk apa api itu?”. “Akan aku bakar surga dengan api ini”, jawab Rabiah.


Dan pernah suatu kali Rabiah berdoa, “Ya Tuhan, jika saya ibadah hanya karena ingin surga, maka jauhkan surga dari saya. Atau jika saya ibadah karena takut neraka, maka bakarlah diriku di dalamnya. Namun jika saya beribadah karena-Mu, maka biarlah saya menikmati keindahan-Mu”.


Selebihnya, bisa samean tafsirkan sendiri.


Surabaya, 2018

39 views0 comments

Comments


bottom of page