Oleh : Wldaa
Kala itu aku mendengar suara yang tak asing. Suara lembut dari sebrang sana yang menebar kehangatan. Aku tak pernah membayangkan wajahnya, bagiku itu tidaklah penting. Ada yang bilang, cinta itu jatuh saat pandangan pertama dan itu dinilai sangat mengesankan. Kenapa bagiku tidak? Aku tak pernah melihat wajahnya, tak butuh pertemuan untuk saling bertatapan, nyatanya cinta itu benar-benar jatuh dilubuk hatiku yang terdalam.
Coba jelaskan padaku cinta macam apakah ini? Kau boleh saja tak menerimanya, atau bahkan kau boleh mencelaku atas nama rasaku. Apa boleh buat? Bagiku ini sebuah anugerah. Cinta yang tumbuh dari sepucuk kata dan suara singkat media telepon. Terkadang memang benar, cinta itu membutakan, cinta itu gila dan tak tahu malu, tak tahu arah dan cinta itu mengalahkan ketidak mungkinan. Siapa yang kuasa menolaknya? Tuhan pun memberinya tak hitung-hitung, tanpa meminta balasan apalagi bayaran. Maka biarkanlah, cinta tahu cara tumbuh dengan baik tanpa harus mengusik apapun.
“Apa alasanmu menyukaiku?” pertanyaan singkat yang butuh jawaban panjang. Seketika terdiam dan berfikir. Apa itu bentuk keraguanmu? Ataukah sebuah ketidakyakinanmu tentang rasaku?
“Apakah sepenting itu sebuah alasan untuk menjelaskan kedudukanmu dalam hatiku?”. Fikiranku terbang, terhempas angin dan aku tak tahu dimana. “Apa menurutmu aku harus menyertakan sebuah alasan untuk itu? Jika aku bertanya, ketika alasan itu hilang, akankah cinta itu juga akan hilang bersamaan? Aku tak sanggup. Maka aku memilih untuk tidak menyertakan alasan dibalik rasaku padamu.”
Ku lepas rinduku pada malam yang singkat. Andai kata mampu, aku ingin mengakhiri rindu ini dengan bertemu, bertatap muka, bertanya perihal rasa pada hati sebagai tujuan. Aku ingin ada bincang-bincang sesaat, sebagai alasan untuk membayar rindu. Memang cinta tak tahu malu. Tak pernah puas dengan sapaan ‘hai’ dan selalu ingin yang lebih daripada itu.
“Apa artiku bagimu?”. Bentuk keraguan kembali datang. Terpaut jarak yang tak mudah diterima oleh langkah dengan hitungan detik, itu biasa. Seberapa jauh kau menganggapku dengan segala rasaku. Aku percaya dengan kata-katamu.
“Kau adalah tujuanku, masa depanku. Tujuan untuk meneruskan generasiku, hingga masa tuaku.” Terhempas jauh keatas awan, kau membawaku pergi sejauh itu. Siapa sangka kau juga akan menghempaskan ku kedalam jurang bawah tanah terdalam?
Detik-detik itu menegangkan. Keringat bercampur aduk dengan derasnya air mata. Tiada hal yang mudah untuk dijalani dalam kehidupan singkat ini. Dan hidup tak akan berwarna tanpa ada tawa dan tangis yang berjalan bersandingan. Keduanya bagaikan teman akrab yang berjalan bergandengan tangan. Menyusuri jalan setapak dengan langkah kaki yang tenang. Saat itulah hati dan pikiran juga memutuskan untuk berteman sementara.
Ada luka dalam hati yang tak terlihat, namun air mata tak sungkan menunjukkan sedalam apa luka itu. Fikiran bertolak belakang, lalu senyum ku tebarkan walau ada air mata yang menyertainya. Aku sudah siap dan aku kalah.
“Kau boleh melihat seberapa baik seseorang yang ingin bersanding deganmu, kau boleh memilihnya jika Tuhan menunjukkan itu terbaik untukmu, karena sebenarnya aku pun ragu dengan hatiku.”
Jika saat ini aku bisa memilih, aku akan memilih tak lagi ingin diberikan kesempurnaan mata dan tangan. Aku tak ingin melihatnya, aku tak ingin membacanya, dan aku tak ingin merekamnya dalam ingatanku. Tapi nyatanya, semua terekam begitu jelas. Benar, jariku tak lagi bisa berkutik. Aku terdiam, hatiku bergetar, inginku pejamkan mata dan tak sadarkan diri. Inikah arti sebenarnya diriku bagimu?
Tujuan itu tak lagi ada, bodohnya aku tak mempercayai itu. Lalu apa yang aku tunggu? Kau menghempasku terlalu jauh hingga aku tak lagi mampu bersandar disembarang tempat. Aku bersyukur atas pukulan ini setelah sepenuh hati ku percayakan padamu. Aku tak menuntut untuk kau sembuhkan, aku juga tak menuntut untuk kau kembalikan, juga aku tak menuntut untuk kau balaskan. Tapi aku meminta kau agar tak kembali.
“Aku munafik jika aku hanya terdiam dan membiarkanmu pergi begitu saja. Hatiku menolak dan aku tak mampu menahannya. Andai saja waktu bisa menghapuskannya dengan waktu sesingkat-singkatnya, maka aku tak lagi menuliskan ini dengan percaya diri. Kau berhak bahagia, maka aku juga. Kau berhak memilih, maka aku juga. Dan kau juga berhak memutuskan, maka akupun juga. Andai saja kau tahu, bahagiaku adalah kamu. Jika aku harus memilih, aku memilihmu. Dan jika aku berhak memutuskan, aku memutuskan untuk tetap mencintaimu dengan caraku. Begitulah definisi rasaku padamu.”
Sebenarnya akupun tak tahu sejauh mana aku bisa menahan rasa ini. Melihat kebahagiaan orang lain di sekelilingku, mudah sekali menghapuskan rasa dan mengubahnya tanpa ragu. Mengapa aku tak bisa dan tak semudah itu?
“Cintaku yang terlanjur dalam ataukah memang karena cintamu yang mengikat?”
“Wahai hati yang mengira aku tak lagi mengingatnya, Sungguh Tuhan Maha Tahu bahwa aku tak bisa melupakannya. Bila ia menghilang dariku, bukankah jiwa ini adalah tempatnya?”
-Puisi Al-Mutanabbi-
Comments