Oleh: Kang Aly
“Kamu suka nulis puisi yaaa?”
“Engga juga”
“Lah buktinya sering buatin aku puisi”
“Aku ngga suka nulis puisi Aksa.. Aku cuma suka bikin kamu tambah suka sama aku”
“Ih.. modus kamu yaaa”
Namanya Gibran Prasetya, usia 24 tahun 3 bulan lebih tua dari aku. Dia pelayan di salah satu tempat makan cepat saji. Tiga bulan sejak awal kami kenalan, percakapan di atas selalu berhasil bikin aku senyum-senyum sendiri tiap kali duduk di tempat ini: di cafei tepi sungai, tempat favoritnya, eh favorit kami nding hehehe. Aku suka tempat ini, aku suka melihat orang-orang memancing ikan, aku suka puisi Gibran, aku suka dia, dan aku.. rindu.
*****
Namaku Aksara, biasa dipanggil Aksa. Aku bekerja sebagai editor di salah satu penerbit yang cukup terkenal di kota ini. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari hidupku, tidak ada hal menarik yang bisa aku ceritakan, semua berjalan apa adanya, hidupku biasa-biasa saja sebelum ini. Sampai akhirnya, laki-laki yang hobinya bikin aku kangenl itu datang—memberi warna baru, membuat hidupku menjadi puisi.
Aku dalam perjalanan pulang kerja ketika gerimis berangsur jadi hujan. Aku terpaksa berteduh di sebuah toko buku sebelum perempatan—satu-satunya toko yang masih menyala malam itu, meski di depan pintu tertulis kata “closed”. Sialnya hujan semakin deras saja dan aku tidak bawa mantel, kombinasi yang menyebalkan.
Aku memutuskan merapat persis ke sebelah pintu ketika angin berhembus makin dingin dan ttik-titik air bergerak mengepungku. Nampaknya hujan tidak akan reda lebih cepat. Sementara aku kedinginan dan diserang kantuk yang teramat sangat, pintu toko berdecit terbuka. “Maaf mas.. saya numpang sebentar”. Lelaki di depan pintu itu tersenyum ramah sembari memberiku kain handuk kering. “Masuk saja, di luar terlalu dingin*, ajaknya kemudian. Sebenarnya aku ragu, aku hendak menolak ketika lelaki dengan sweater abu-abu itu tertawa kecil sambil memperkenalkan diri, “hahaha tenang saja mbak, nama saya Gibran, saya anak baik, meskipun kalau subuh selalu kesiangan”. Aku mengangguk sambil membuang muka, agar dia tidak tahu kalau aku tersipu.
“Jadi embak ini editor di penerbit buku yang saya baca ini?”, aku mengangguk. Gibran ternyata orang yang ramah dan mudah berkomunikasi. Dia cekatan dan antusias ketika membuatkanku cokelat hangat, “sebenarnya ada cara yang lebih ampuh dibanding cokelat buat ngilangin dingin mbak”. “Apa?”. “Mmmm pelukan”, jawabnya yang kemudian ku timpali dengan mata melotot. “Bercanda, hehehe”.
Tokonya memang tidak terlalu besar, tapi koleksinya cukup lengkap dan banyak. Khususnya buku2 dari penerbit tempat saya berkerja. “Oh ya.. nama saya.. “, “sssttt, aku gak perlu tahu nama embak malam ini”. Hah?. Aku sebenarnya tersinggung ketika Gibran menolak perkenalan dariku. Tapi.. “biar aku yang nyari tahu siapa nama embak”. “Kenapa begitu?”, tanyaku menimpali. “Iya, biar embak ngga repot. Biar aku saja yang repot nyari-nyari embak”. Aku tersenyum, caranya bicara denganku: menenangkan.
Hujan reda beberapa menit berselang. Aku segera berpamitan dengan Gibran dan memacu motor yang aku parkir di depan toko. Sepanjang perjalanan aku tidak berhenti tersenyum-senyum sendiri—mengingat kejadian di toko selama hujan mengguyur tadi. Terutama saat ingatanku sampai pada bagian ketika aku berpamitan, “sekarang memang musim hujan mbak, cuaca tak tentu. Besok-besok ngga perlu bawa mantel”. “Lhoh kok ngga perlu? Kan musim hujan Gibraaan”, kataku sangsi. “Hahaha ya kalau ngga bawa mantel, embak kan bisa sering-sering mampir ke sini kalau kehujanan”. Lagi-lagi aku tersipu.
Hujan lagi-lagi turun ketika malam berikutnya aku dalam perjalanan pulang. Aku berhenti di tepi jalan, berteduh di bawah atap sebuah kios kelontong yang sudah tutup. Aku hendak membuka jok motor untuk mengambil mantel, tapi ku urungkan—aku tahu ke mana harus berteduh.
“Hai Aksara, hujan lagi ya”, sambut Gibran membuka pintu tokonya persis sebelum aku hendak meraih gagang pintu. Aku sempat bertanya, dari mana dia bisa tahu namaku?. Dia mengambil satu buku—terbitan tempat aku bekerja. Dia membuka halaman awal dan menunjuk ke satu nama, “dari ketiga editor yang tertulis, Aksara satu-satunya nama yang beraksen feminin”. Aku tertawa, ternyata sampai segitunya dia mencari tahu namaku. “Habis ini apa lagi yang ingin kamu cari tahu dari aku?”, aku iseng bertanya. Gibran tampak berpikir, agak lama, diletakkannya buku itu di meja kerjanya, bernafas berat kemudian, “aku tidak ingin tahu banyak”. “Oh.. oke” aku kira jawabannya akan membuatku tersipu lagi. Hmmmm.
“Aku ngga perlu tahu banyak tentang kamu Aksa, aku kenal kamu yang sekarang ini udah cukup”. Aku salah.. ternyata aku tersipu lagi.
*****
Hari-hari berikutnya aku jadi lebih sering mampir ke toko buku Gibran. Tiap pulang kerja atau ketika weekend—sekedar membantunya menata buku atau melayani pembeli. Entah kenapa aku mulai suka ngobrol dengan Gibran, caranya bicara menyenangkan dan penuh kejutan. Sampai aku curiga, cowok seperti dia pasti sudah punya calon, atau minimal pacar lah.
“Bran.. “
“Hmmm”
“Aku sering sama kamu gini, apa cewek yang deket sama kamu ngga cemburu?”
“Emmm mungkin sih engga. Udah lah santai aja”
Aku tersekat, seperti ada yang mengganjal dalam dadaku—sesak.
“Jadi kamu udah punya... Pacar?. Cantik pasti ya”
“Dulunya sih cantik.. sekarang udah engga lagi”
“Hah? Maksud kamu?”
“iyaaa Aksa.. cewek yang deket aku itu udah tua. Namanya Listya, ibukku”
Aku timpuk dia dengan buku—dasar menyebalkan!. Entah kenapa hatiku lega seketika. Gibran, penjaga toko buku yang suka mengenakan sweater itu selalu bisa membuat aku tersenyum. Selalu bisa membuatku tidak sabar dengan pertemuan-pertemuan berikutnya.
Dalam suatu kesempatan Gibran mengajakku ke cafe tepi sungai di barat kota. Katanya itu merupakan tempat favoritnya, dan aku adalah perempuan pertama yang diajak ke sana. Dia suka duduk di kursi paling belakang—yang persis menghadap arah matahari terbenam. “Ada yang hilang dari senja itu”, ucapnya waktu itu membuka percakapan, sambil menunjuk arah barat. “Apa?”, “Gairahnya Aksa.. Senja itu kehilangan gairahnya”. Aku mengernyitkan dahi. Dia tersenyum dan menatapku halus, “aku dulu selalu butuh senja untuk menulis puisi, tapi sekarang sudah ada kamu”. Jangan tanya responku saat itu bagai?. Hmmm tentunya temen-temen pembaca yang perempuan lebih paham. Jelasnya, perasaanku saat itu, campur aduk, tak karuan.
Oh ya, sejak saat itu aku mulai tahu, kalau Gibran suka nulis puisi. Kalau aku boleh sedikit agak ke-PD-an, jelasnya Gibran suka menulis puisi—untukku. Setiap kami bertemu, pasti selalu ada kertas kecil yang dia berikan kepadaku. Tulisan tangannya memang tidak karuan, tapi aku suka puisi-puisinya, aku suka Gibran. Aku suka Gibran dan puisinya.
*****
Cafe tepi sungai menjadi tempat nongkrong kami berdua setiap minggunya, ketika kami sama-sama libur bekerja. Dan seperti biasa, Gibran masih suka menulis puisi yang dia selipkan di tas kecilku beberapa saat sebelum kami sama-sama pulang.
“Kamu suka nulis puisi yaaa?”
“Engga juga”
“Lah buktinya sering buatin aku puisi”
“Aku ngga suka nulis puisi Aksa.. Aku cuma suka bikin kamu tambah suka sama aku”
“Ih.. modus kamu yaaa”
Itu yang ke sekian kalinya Gibran membuatku tersipu. Dan Gibran menang, dia berhasil membuat aku tambah suka, bertambah terus setiap hari.
Hingga suatu hari, semuanya berubah, Gibran berubah. Setiap sepulang kerja aku masih selalu menyempatkan diri mampir ke toko bukunya—dia tidak ada. Ku cari dia di cafe tempat kami biasa nongkrong—nihil. Berhari-hari Gibran hilang tanpa kabar. Aku tidak punya alamat rumah atau nomor telepon yang bisa dihubungi, karena dia memang pernah bilang, “udah.. kamu ngga usah tau alamat rumah atau nomor telepon aku. Percayalah, kalau kita ngga ketemu lagi di tempat biasa, aku yang bakal nyari kamu”. Kamu bohong Gibran, kamu bohong, nyatanya kamu ngga nyari aku, sampai detik ini. Ini sudah hari keempat, dan Gibran masih tidak ada kabar. Dadaku sesak luar biasa.
*****
Hari ke lima, dan sepulang kerja aku masih menyempatkan diri melewati toko bukunya—berharap laki-laki brengsek itu ada. Tapi tokonya masih tutup sebagaimana empat hari sebelumnya, dan sekarang malah ada tulisannya “dijual”. Gibran.. Kamu ke mana?
Keesokan harinya, dengan mata setengah sembab aku menyalakan motor di halaman rumah. Hingga aku tahu ada seseorang berjalan dari seberang jalan, mendekatiku. “Kan udah aku bilang, biar aku aja yang nyari kamu”. Aku terpaku sejenak, lalu menangis tak terkendali. Gibran mendekat, lantas memelukku sembari berbisik, “ada cara yang lebih ampuh bikin hangat ketimbang cokelat kan mbak Aksa? "Hehehe Kamu ngeselin banget... Ku kira aku bakal jadi senja yang kehilangan gairahnya."
Begitulah lalu Gibran melepaskan pelukannya. Dia mengusap air mataku yang udah kadung basah di pipi kanan-kiri. Dalam perjalanan menuju kantorku, ada banyak hal yang sebenarnya ingin aku tanyakan, tapi Gibran memintaku untuk jangan bertanya dulu. Baiklah.
Eh, sebentar, sepertinya ada yang salah. Gibran tidak membawaku ke arah kantor, dia membawaku ke arah stasiun kota.
Dugaanku benar, kami berhenti di pintu masuk stasiun. Kaki-kaki bergetaran, seluruh tubuhku bergetaran. Pliiiiis semoga ini hanya mimpi. “Aksa.. “. Aku menatap matanya yang merah, wajahnya menggambarkan ketakutan yang sulit diartikan. “Aku janji nanti pasti akan cerita, dan aku janji aku pasti kembali”. Tuhan.. pliiiiis bangunkan aku dari mimpi buruk ini. “Kamu ngga mimpi Aksa. Ada urusan yang harus aku selesaikan, aku harus pergi”. Aku terhenyak, tidak tahu lagi harus bicara apa.
Ketika Gibran hendak berjalan ke dalam stasiun, aku menahan langkahnya—ku pegang erat lengannya. “Kenapa aku ngga boleh nyari kamu?”. Gibran tersenyum, dia kembali berhadapan denganku dan berkata lirih, “sebab aku ngga pernah ke mana-mans Aksa.. Gibran ngga pernah pergi. Gibran ada di hati kamu, selamanya”. Ku lepas cengkeramanku, dan ku biarkan Gibran pergi entah untuk urusan apa, ke mana, dan entah sampai kapan. Hanya satu kertas kecil yang tertinggal darinya—puisi yang lima hari lalu absen mengisi hariku.
*****
Jika kau mata air
Biar aku jadi ikan-ikan kecil di dalamnya
Jika kau mata air
Biar aku jadi riak-riak kecil dan daun jatuh
Jika kau mata air
Jangan pernah jadi air mata
Jika kau air mata
Biar aku jadi hujan yang menghapusnya
-Gibran-
Comments