Oleh: Goes Una
Adakah yang lebih sulit dari move on atau mengikhlaskan seseorang yang sangat kita sayangi untuk pergi menjemput kebahagiaannya dalam bingkai perpisahan?
Padahal, di balik setiap pertemuan dan kebersamaan, pasti ada perpisahan. Seberapa besar dan tulus rasa sayang serta rasa memiliki kita, perpisahan adalah bom waktu untuk setiap pertemuan yang sewaktu-waktu akan meledak. Karena memang seperti itulah hukum alam bagi segala hal yang bersifat materi dan indrawi. Kita ataupun mereka pasti akan mengucapkan kata perpisahan itu. Namun ada yang abadi dan setia serta tak mengenal perpisahan. Memori atau kenangan indah saat bersama yang kembali terkenanglah yang akan mampu menjinakkan bom waktu dari masa lalu. So yes, collect memories, not things!
“Adiba… kenakan kerudungmu!”
“Yaelah mbak, kan cuma duduk di teras doang, gerah tau.”
“Teras itu ruang terbuka, kamu mau aurat kamu jadi tontonan pamuda-pemuda yang sedang main gitar di depan sana?” tegurku sambil menunjuk ke arah pemuda-pemuda yang sedang asyik bermain gitar dan salah satu di antara mereka menunjukkan suara seraknya seakan sedang konser di panggung megah.
Aku melihat wajah cemberut adikku ketika masuk ke kamar untuk mengambil kerudungnya. Aku memaklumi kondisinya yang masih labil. Secara, umurnya masih 13 tahun dan aku harus mendidiknya dengan tegas. Dia tak mengenal sosok ibu dalam hidupnya. Ibu kami meninggal sesaat setelah adikku lahir. Dia hanya mengenal sosok ayah yang pekerja keras. Seorang pekerja keras yang kadang lupa waktu pulang. Aku paham kenapa ayah sampai lupa waktu pulang, karena beliau menyayangi kami. Ayah ingin memenuhi kebutuhan hidup kami berdua. Tapi alasan itu, terkadang bertentangan dengan hatiku.
“Apa kamu ibuku?”
Masih lekat di ingatanku beberapa tahun yang lalu, ketika bibir mungil Adiba mengucapkan kalimat ini kepadaku. Tiba-tiba linangan air mata memenuhi pelupuk mataku tapi tak sempat jatuh membasahi pipiku, karena dengat cepat kuseka air mataku dengan jemari. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Mungkin dia melihatku seperti sosok ibu karena aku jauh lebih tua darinya. Selisih umur kami sangat jauh, 15 tahun. Pada saat itu Adiba berumur dua tahun dan aku 17 tahun. Naluri keibuanku tumbuh lebih cepat di banding anak-anak seumurku waktu itu. Di umur 15 tahun, aku sudah terlatih membuat susu formula untuk adikku, menggantikan popoknya, terbangun ketika dia menangis tengah malam, bahkan aku lupa bagaimana masa-masa remajaku bersama teman-temanku. Hidupku waktu itu untuk adikku. Sebagai wujud tanggung jawabku sebagai seorang kakak pengganti ibu.
Waktu kecil aku senang mengajak Adiba bermain di sebuah bukit di belakang rumah kami. Jaraknya mungkin begitu jauh, tetapi kami selalu senang bermain di sana. Sesekali Adiba ku gendong, ketika dia sampai pada titik lelahnya. Di sana kami bisa melihat segalanya dari atas. Rerumputan yang sangat luas. Serta bunga dandeliaon yang sangat banyak. Adiba bebas berlarian kesana kemari. Aku selalu mengajarkan bagaimana hidup dari alam itu lebih menyenangkan. Jika menyenangkan ia tak akan tega merusaknya. Karena suatu saat, ketika dia tumbuh dewasa, dia akan mengerti bahwa alam itu sangat berarti.
“Adiba, coba ambil setangkai dandelion itu. Arahkan tepat di depan bibirmu, kemudian tiuplah. Serpihan-serpihan kecil bunganya akan terbang seiring hembusan nafasmu. Tahu tidak mereka akan kemana?”
“Tidak mbak. Kemana?”
“Mereka akan mengikuti arah kemana angin membawanya. Mereka akan tumbuh di tempat yang berbeda bukan di tempat ini lagi. Mereka akan tumbuh indah kembali meskipun di tempat yang begitu asing. Meskipun mereka terpisah dari kawanannya, mereka tetap berusaha kelihatan tegar untuk menambah keindahan di tempat barunya.”
“Maksudnya?”
“Sudahlah, suatu saat kamu akan mengerti.”
Alhamdulillah… Adiba tumbuh menjadi sosok wanita shalihah. Sekarang umurnya sudah 25 tahun. Belum lepas dari ingatanku bagaimana menghadapi keras kepalanya dulu. Bagaimana dulu, dia kabur dari pesantren. Kami sampai tak saling bicara beberapa hari karena keegoisannya yang masih terjaga. Bagaimana dulu dia sering diam-diam pergi dari rumah karena ingin jalan-jalan dengan temannya. Bagaimana dulu, aku sering mendapatinya melepaskan kerudungnya ketika sedang jalan dengan temannya. Saat ini, aku melihat sosoknya yang begitu berbeda setelah ku kuliahkan dia di Mesir. Kerudung yang menjuntai ke bawah, tak terlihat lekukan tubuh sama sekali. Jika di bandingkan denganku, aku sungguh tertinggal jauh. Tutur kata yang begitu sopan, dan sesekali dia menegurku ketika aku marah kepadanya. Memang, salah satu yang dapat mengubah seseorang adalah lingkungan. Aku tidak salah menyekolahkannya jauh-jauh, dengan biaya yang tak terhitung banyaknya. Ini tidak berarti apa-apa jika di bandingkan hasil dan pencapaian yang diraih Adiba kini.
“Mbak… ada seorang pria yang ingin berbicara dengan ayah dan denganmu.”
“Siapa?” Tanyaku dengan penasaran.
“Dia temanku waktu kuliah di Mesir. Aku tidak ingin cerita dulu mbak, biarkan beliau yang cerita langsung.”
“Baiklah… ajak dia ke rumah, nanti aku hubungi ayah agar bisa menyempatkan waktu untuk pulang ke rumah.”
***
Keesokan harinya…
“Assalamu’alaikum.”
Kudengar salam dari arah pintu. Kujawab salamnya dari balik pintu dan segera kubuka. Kulihat pria bercambang dengan tubuh semampai dan penuh karisma. Inikah pria yang dimaksud oleh Adiba? Terus maksudnya apa? Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu terus menghantui pikiranku. Dan dia pun menanyakan apakah ayah sedang di rumah. Kupersilahkan dia masuk dan duduk di sofa. Aku masuk ke kamar ayah untuk memanggilnya keluar. Aku mendampingi ayah sesuai pesan Adiba. Aku harus berada di sana sebagai pengganti ibu.
“Pak… perkenalkan namaku Ghufron, teman Adiba waktu kuliah di Mesir. Maksud kedatanganku kesini adalah untuk melamar anak bapak, Adiba.”
Tiba-tiba mataku terperangah ke satu sosok pria di hadapanku itu. Mendengar kata “melamar” sepertinya bom waktu itu benar-benar meledak. Adiba akan di lamar? Kenapa tak pernah terpikirkan olehku jika suatu saat nanti aku benar-benar akan melepaskan Adiba dengan orang lain? Tidak. Aku belum siap untuk melepas adik kecilku.
Ketika pria itu bertanya ke ayahku bagaimana tanggapannya, ayahku malah mengumpan balik pertanyaan itu ke arahku. Sepertinya ayah tau bagaimana perasaanku dan memberikan hak sepenuhnya untuk menjawab pertanyaan pria itu. Dengan tegas aku menjawab “tidak”. Pria itu heran dengan tingkahku yang begitu aneh. Tanpa kuberikan penjelasan apa-apa, aku langsung masuk ke kamarku. Ada rasa penyesalan yang menyelinap dalam hatiku atas sikap ketusku terhadap teman Adiba.
“Astaghfirullah… apa yang sudah kulakukan?. Bukankah ini terlalu egois? Jika aku tidak ikhlas melepaskan Adiba dengan orang lain, apakah itu sama saja aku juga tidak ikhlas merawatnya? Ya Allah… maafkan atas keegoisanku ini. Mestinya aku tidak melakukan hal bodoh seperti ini. Aku belum menikah karena sibuk mengurusi biaya studi adikku, bagaimana bisa aku menyamakan jalan hidupku dengan jalan hidup adikku. Bukankah dia berhak atas kebahagiaan ini?”
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Kulihat wajah Adiba yang menyungging senyum masuk ke dalam kamarku.
“Mbak butuh pelukan?”
Tanpa menjawabnya spontan kupeluk adikku dengan erat hingga air matapun tak tertahan jatuh begitu saja.
“Maafkan mbak dik. Maafkan mbak yang terlalu egois. Mbak belum siap untuk kehilangan dirimu.”
“Mbak… sudahlah tak perlu meminta maaf. Aku yang salah mbak. Aku begitu ceroboh. Aku membiarkan mbak terluka. Aku akan mengikuti kata mbak. Aku tidak ingin orang lain membahagiakanku, sementara seseorang yang di hadapanku ini bertahun-bertahun telah membahagiakanku. Namun aku begitu lancangnya menyakiti hati dan perasaannya. Aku tidak akan menikah dengan siapapun.”
Kalimat-kalimat itu seakan menodongku. Seperti belati yang benar-benar tetancap di ulu hatiku. Ku hapus air mataku dan ku pegang kedua lengan adikku. Aku harus meyakinkannya.
“Dik… kamu ingat tentang bunga dandelion yang pernah mbak ceritakan dulu? Setangkai bunga dandelion yang serpihan-serpihan kecilnya pergi terbawa oleh angin. Jauh hingga pergi ke tempat yang begitu asing baginya. Di sana mereka menaruh benih dan tumbuh indah. Aku lupa menceritakan tentang induk bunganya yang akan merasakan sedih yang teramat dalam, namun dia harus meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia dengan senang hati merelakan mereka pergi. Pergi sejauh mungkin untuk sebuah kebahagiaan. Mereka akan hidup kembali. Aku akan menjadi induk dandelion itu. Untuk ratusan serpihan kecil bunga dandelion itu, agar mereka bisa tumbuh indah di tempat yang berbeda. Kamu, Adiba, adalah ratusan serpihan dandelion itu.”
“Jadi mbak?”
“Menikahlah.”
Comments