Oleh: Inlander
Pagi itu, matari Kampun Padang tampak kegirangan, mungkin karena gulita sudah pergi dan kini saatnya matahari menemani keceriaan, matahari pun dengan yakinnya memancarkan kilauan cahayanya ke seantero bumi. Saat itu gulita sudah pergi didorong oleh kilauan pagi. Burung-burung tampak dengan suka cita dan gembiranya terbang kesana-kemari dan sambil membunyikan zikir-zikirnya kepada sang Pemberi Kilauan. Angin kala itu bersilir membelai dedaunan dengan belaian kasih sayang dan cinta, sehingga dedaunan pun merasakan kasih sayang dan cinta-Nya.
Tampak di beranda rumah seorang anak muda sedang duduk dan mempertontonkan raut wajah kesedihan dan kepayahan. Di beranda pemuda itu ditemani dengan segelas teh panas yang berada dalam cangkir, terlihat asap yang keluar dari cangkir itu. Siapa lagi pemuda itu selain si Bujang. Pemuda yang baru saja ditinggal pergi sang ayah untuk selamanya dan tak akan kembali lagi.
Rupanya Bujang belum bisa merelakan sang ayah pergi untuk mengahadap Tuhan. Padahal bukankah itu kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan setelah menjalani kehidupan yang hanya sementara di dunia, hanya saja Bujang tidak sadar akan hal itu, karena terlalu terpukul oleh keadaan.
Wajah bujang tak seceria matari pagi dan tak segirang burung, yang sedari tadi berlikak-likuk dan menari di halaman rumah. Rupanya sedih si Bujang semalam tak di bawa pergi oleh gulita meninggalkan malam. Seharusnya seiring terbitnya matari dipagi hari, begitu juga terbitlah wajah ceria Bujang dan membumi hanguskan kesedihannya. Tetapi tidak, Bujang masih saja tetap bersedih perihal kepergian sang ayah tercinta.
Sudah satu jam ia duduk di beranda rumah dan teh yang berada di cangkir tak kunjung memasuki mulutnya, hingga teh yang tadinya hangat menjadi dingin karena tak kunjung dijamah. Ia terus melamun, tak ada sesuatu pun yang diperbuatnya, sedari tadi kerjanya hanyalah melamun.
Tampak dari raut wajahnya ia sedang melamunkan bagaimana menjalani kehidupan tanpa sosok ayah, menjalani kehidupan, yang dulunya sang ayah selalu memberikan penghidupan pada keluarga, kini tak lagi bisa memberi. Itulah yang dilamunkan si Bujang sedari tadi yang menyebabkan teh di hadapannya itu sudah tak lagi panas.
Satu jam sudah si Bujang berada di beranda dengan lamunannya, tiba-tiba tampaklah sosok yang sudah keliatan tua berada di pintu rumah, ya, itu ibunda tercintanya. Ketika itu ibu pun memperhatikan anaknya yang sedang melamun tanpa meneguk teh yang berada di hadapannya.
Tiba-tiba ibu mendekat dan mengelus kepala si Bujang, dan elusan itulah yang membuat si Bujang keluar dari lamunannya, ia terperanjat dan segera ia dapadi ibunya sudah berada dihadapannya. Sang ibu berkata pada Bujang “kenapa melamun Bujang? Apa yang sedang kamu pikirkan nak?”
Bujang pun seketika terperangah dan menatap lekat mata sang ibu, tampaklah cahaya kasih sayang dari mata ibu, tampaklah kilauan ketegaran hidup dari matanya, dan tampak pula mata sembab ibu disebabkan menangisi kepergian sang suami.
Bujang tidak menjawab pertanyaan ibu, ia hanya menunduk seperti orang tidak bersemangat lagi untuk hidup. Yang ada di pikirannya hanyalah “mengapa ayah begitu cepat meninggalkannya”.
Ibunya terus mengelus kepala Bujang, dan sesekali ibu mengecup kening si Bujang.
“Apa kau masih tidak terima dengan kepergian ayahmu Bujang?” tanya ibu kembali.
Si bujang tertegun dengan pertanyaan itu. Memang ia tidak terima dengan musibah yang menimpa dirinya dan keluarganya. Dan kemudian ia menjawab pertanyaan ibunya sambil menatap lekat mata ibu. “ia bu, mengapa ayah begitu cepat meninggalkan kita?”
Ibu pun menarik dan menghela napas panjang dan kemudian menjawab pertanyaan si Bujang seraya menasehati, “Bujang, kau sudah dewasa, seharusnya kau tidak berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini. kau harus mencontohkan kepada adik-adikmu untuk tidak bersedih dan menerima segala apa yang sudah terjadi kepada keluarga kita, supaya adik-adikmu juga tidak larut dalam kesedihan. Allah sudah menetapkan setiap kehidupan makhluk-Nya, setiap yang bernyawa pasti akan menemui kematiannya.”
Ketika itu Bujang hanya manggut-manggut dan sesekali mengalirkan butir-butir air mata kesedihan melewati pipinya.
“Sudah jangan bersedih terus, minumlah tehmu.” kata sang ibu.
Bujang pun terenyah, ia tidak menyadari bahwa teh yang tadinya panas sekarang sudah dingin karena tak kunjung ia teguk karena lamunannya. Dan seketika ia meneguk habis dalam sekali tegukan teh yang sudah tidak lagi panas itu. Dan ibu pun berlalu meninggalkan Bujang yang masih berada di beranda rumah.
***
Menit berganti menit, jam berganti jam dan hari berganti hari. Sudah satu minggu terlewatkan, Tampaknya kesedihan si Bujang dan keluarganya sudah mulai memudar mungkin bahkan hilang, biarpun masih membekas.
Tampak dari raut wajah Bujang kala itu sudah menampakkan keceriaan. Biarpun pahit hidup masih ia rasakan. Apa benar kesedihan itu sudah pergi mencampakkan si Bujang? atau ia pergi melepskan kesedihan? Itu tidaklah penting untuk dipikirkan, yang terpenting Bujang dan keluarganya sudah tak lagi tampak dalam keadaan kesedihan yang berlarut.
Bagaimana mungkin si Bujang terus menerus berada dalam kesedihan, berlarut dalam kesedihan tanpa melakukan aktivitas sama sekali. Mungkin ia termakan oleh nasehat sang ibu ketika ia sedang melamun di beranda rumah. Mungkin ia tidak mau melihat adik-adiknya juga ikut larut dalam kesedihan dan lara seperti yang dikatakan oleh ibunya.
Pagi itu, matahari mulai naik dengan yakinnya untuk menyinari bumi dan langitpun tampak biru seraya mendukung keceriaan matahari. Terlihat di suatu kebun dan ditengah-tengah kebun itu terdapat sebuah gubuk kecil. Gubuk itu rumah tempat keluarga si Bujang menghindari sengatan matahari di siang harinya dan berselimut dari ganasnya angin sejuk pada malam harinya.
Tampak di kebun itu si Bujang memegang cangkul dan sesekali menghempaskan cangkulnya ke tanah sehingga tercongkel tanah dari bumi. Selain si Bujang, tampak pula sang ibunda tercinta tengah memetik lombok yang keliatan sudah matang dan siap untuk di panen.
Di sekitar kebun juga tampak kedua adik si Bujang sedang berlarian kesan-kemari sambil sesekali berteriak kegirangan, tampaknya adik-adik si Bujang sudah melebur dalam kecerian dan melupakan kesedihan. Wajar saja mereka masih kecil dan belum begitu paham dengan keadaan. Seharusnya orang-orang dewasa bisa belajar dari sikap kedua anak ini, tidak larut dalam kesedihan dan segera melebur dalam keceriaan. Apalah artinya seseorang yang terus menerus dalam kesedihan, sedangkan kesedihan membawa pada kesengsaraan. Ya begitulah, kesedihan merupakan sifat kemanusiaan, tidak ada manusia yang tidak pernah merasakan sedih.
Cangkul terus tertumbuk ke bumi dan tanah terus tecongkel. Bercururan peluh yang mengalir di setiap sudut badan si Bujang. Tanpa merasakan kelelahan Bujang terus menyangkul tanpa henti dan tanpa lelah pula. Ia cangkul tanah dimana tanah itu nantinya hendak ditanamkan tanaman, tanaman itu bisa mereka santap sekeluarga dan juga selebihnya mereka jual untuk biaya kehidupan sehari-hari.
Ya, tentu saja biaya kehidupan sehari-hari. Dulu sebelum ayahnya meninggal, ayahnyalah yang membiayai kehidupan keluaraga ini, kini ayah si Bujang kan sudah tiada. dan tanggung jawab untuk membiayai keluarga kini berada di pundak sang ibu dan juga si Bujang, dengan bekerja di ladangnya sendiri yang berada di perkarangan rumah. menanam sayur-sayuran yang kemudian ia jual ke pasar untuk biaya hidup keluarga.
Semasa ayahnya masih ada, Bujang tidak memiliki pekerjaan yang tetap, apa saja ia kerjakan, asalkan sedikit bisa membantu ayahnya.
Lombok yang telah matang pun telah terpetik semuanya, yang tinggal hanyalah lombok yang belum matang saja, mungkin beberapa hari lagi akan matang dan siap untuk ditanggalkan dari pohonnya.
“Alhamdulillah kali ini panen cukup memuaskan” tutur ibu dalam hati. dan ibu seraya bertolak menuju gubuk tempat biasanya mereka beristirahat kala bekerja di ladang. Sang ibu menelisik cabai demi cabai, dan alhamdullillah cabai hasil petikan hari ini bagus-bagus. Dan ia pun melanjutkan pekerjaannya.
Sang ibu pun mengarahkan pandangannya ke anak sulungnya yang sedang bertarung dengan cacing-cacing tanah, karena Bujang telah merusak rumah-rumah mereka. ia lihat anaknya lekat, dengan tekunnya mencangkul tanah demi tanah serta keringat bercucuran di sekujur tubuh yang agak sedikit kerempeng. Biarpun badannya tidak terlalu berisi, tetapi tenaganya melebihi lahirnya. Apapun ia kerjakan asalkan pekerjaan itu baik bagi dirinya dan keluarganya.
“Bujang....Bujang.... istirahatlah dulu, mari kesini!” teriak sang ibu menghilangkan konsentrasi Bujang saat menyangkul, hampir saja cangkul itu mengenai kakinya.
“Untung saja tidak kena. coba kalau kena, kan sudah puntung jempolku” batinnya sambil mengarahkan pandangan ke ibunda tercinta.
“Iya bu....sebentar lagi juga kelar” teriak Bujang membalas panggilan ibunya.
“Istirahatlah dulu, kamu sudah keliatan letih. Kemarilah!” ibu masih bersikokoh memanggil anaknya untuk beristirahat di gubuk kecil yang ada di belakang rumah.
“Iya bu.....” jawab Bujang.
Seketika itu juga bujang menyudahi pekerjaannya dan mengangkatkan kaki meninggalkan tanah yang tadi ia cangkul. Ia angkat cangkul itu dan meletakkannya di atas pundaknya. Seperti tentara saja meletakkan bedil di pundak. Begitulah si Bujang, cangkul yang dipikulnya tidak terasa berat baginya, seperti beban keluarga yang berada di pundaknya pun tidak pula terasa berat.
Ia pun melayat ke arah gubuk, di situ terdapat sang ibu tercinta. Dan ia pun sampai dan menyandarkan senjatanya di tiang gubuk yang reok dan lapuk itu. Dan ia pun duduk di samping ibu, sambil menarik nafas panjang dan kembali menghembuskannya.
“Ini, minumlah. Engkau kelihatan letih sekali” tutur ibu seraya memberikan air yang telah di tuangkan kedalam cangkir.
“Terimakasih bu.” ucap si Bujang dan langsung meneguk hingga bocor.
“Kamu capek sekali ya nak?” tanya sang ibu, karena melihat tegukan sang anak, meneguk air dalam sekali tegukan.
“Tidak bu, hanya haus saja” si Bujang mengeles dari dugaan sang ibu.
“Bu, Bujang harus giat lagi bekerja supaya penghasilan kita mecukupi, dan ibu tidak perlu terlalu capek-capek untuk mengurusi kebun. Biar aku saja yang mengurusinya.” kata si Bujang membuat sang ibu termenung dan meresapi kata yang baru keluar lewat bibir sang anak yang sangat ia cintai.
“Sekarang umurku sudah dua puluh tahun bu, aku tak tega melihat ibu letih seperti ini.” terus Bujang kepada ibu.
Ibu hanya termenung dengan perkataan sang anak.
“Ibu tidak apa-apa nak, lagian ibu hanya mengerjakan apa yang ibu sanggup untuk di kerjakan” bantah sang ibu kepada Bujang.
“Baiklah bu, kalau sekiranya ibu tak sanggup mengerjakannya, biar aku saja yang mengerjakannya” katanya pada ibu.
Ibu terkesima dengan permintaan si Bujang, begitu perhatian sang anak kepadanya. Ia membatin “andai saja kamu masih ada kanda, Bujang tak perlu bekerja terlalu keras seperti ini. Kini tanggung jawab berada di atas pundaknya. Rupanya beban dan tanggung jawab itu tak dibiarkannya berada di atas pundakku. semoga kanda tenang di sana.”
コメント