top of page
mediarasa

Curi Pandang Dan Jatuh Hati #BabEmpat

Updated: Dec 10, 2018

Oleh: Inlander


Tak terasa hari pun sore, Pekerjaan Bujang di ladang kelar tergarap, kini cacing-cacing tanah sudah dalam keadaan aman dan tak lagi dalam ketakutan. Dari kejauhan tampak mentari mulai condong ke arah barat, terlihat ufuk kemerahan memancarkan cahaya nan indah, terlihat segerombolan unggas sedang pulang menuju peristirahatan. tampak pula di dermaga banyak para nelayan hendak mengangkat sawuhnya dan berlayar ketengah samudera sambil membumbungkan doa.


Para nelayan dengan pakaian yang lusuh pun, mulai mengangkat segala keperluan di lautan ke dalam perahu mereka masing-masing. Ada dari mereka yang sudah berlayar sekaligus melayarkan doa-doa dan pengharapan keluarga.


Di perkampungan terlihat kerbau-kerbau, yang hendak pulang dan masuk kandang dihalau oleh seorang anak pengembala. Ternaknya itu melewati setiap rumah warga. Dan sesekali memuncratkan dan menghamburkan kotorannya tepat di depan salah satu rumah warga.


“Dasar binatang, ngapain membuang kotoran di depan rumahku” celoteh seorang ibu sang pemilik rumah, karena merasa mangkel dengan perbuatan si kerbau.


Pengembala hanya bisa menahan tawa, terkikik melihat ternakannya membuang kotoran di depan salah satu rumah warga.


Ya, mau bagaimana lagi. namanya saja juga binatang, tidak mempunyai akal, toh binatang bebas melakukan apa saja, tak ada hukum negara atau adat yang dapat mengikatnya. Kan tidak sangat etis, bila sang pengembala menahan kotoran dengan tangannya supaya tidak keluar di depan rumah salah satu warga. Eiiittss... janganlah dibayangkan, itu malah sangat tidak etis sekali untuk dilakukan orang normal.


Di lain sudut, terlihat pak Safruddin, tengah duduk santai di beranda rumah dengan kopiah yang berwarna hitam kusam, yang terletak di kepalanya menutupi rambut yang sudah mulai memutih. Dengan ditemani kopi buatan sang istri tercinta, tampaknya masih hangat, karena asap yang keluar dari gelas kopi itu.


Selain kopi buatan sang istri, pak Safruddin juga ditemai oleh sebuah kitab yang ia bolak-balik sedari tadi. Tampaknya mata pak Safruddin sangat jelih membaca kata demi kata dalam bahasa Arab itu, entah kitab apa yang sedang ia baca. Mungkin saja itu adalah kitab yang berhubungan dengan agama. Sampai-sampai warga yang mondar-mandir di jalan halaman rumahnya pun ia tak pedulikan.


Mungkin saja, yang sedang dibaca oleh pak Safruddin itu bahan untuk pengajian nanti malam. Ya, malam ini kan malam rabu, sudah seharusnya pak Safruddin menyiapkan bahan untuk pengajian. Pengajian itu dilakukan setiap malam rabu dan malam jumat. pengajian itu hanya untuk orang dewasa saja. Termasuk si Bujang di dalamnya, ia tidak pernah alpa sekalipun dalam pengajian yang dilakukan di balai depan rumah pak Safruddin.


Tentu saja Bujang tidak pernah alpa. Bagaimana mungkin ia tidak menghadiri pengajian itu, sedangkan ia membutuhkan ilmu agama sebagai pegangan hidupnya, sebagai pelita dalam kegelapan dan cahaya di kegelapan. Sekolah ia tak mampu, sebab keluarganya tidak mempunyai cukup uang untuk membiayainya. Ia bukan terlahir dalam keluarga yang berada, sehingga ia bisa mengenyam pendidikan. ia tak seberuntung pemuda-pemuda lain yang keluarganya mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga sukses dan menjadi terpandang di dalam masyarakat.


Yang ia rasakan adalah kepedihan dan kelaraan dalam menjalani hidup dalam kekurangan, akan tetapi ia sangat bersyukur, dalam keadaan seperti itu, ia masih bisa makan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya. dulu, ketika almarhum ayahnya masih ada, kalaulah hasil tangkapan ikan sang ayah memuasakan, bisalah ia membeli makanan yang enak-enak. Begitu pula sebaliknya, bila hasil tangkapan sang ayah tidak memuaskan, ia hanya bisa memasak singkong hasil perkebunan-nya. Begitulah bahtera kehidupan yang dialami oleh keluarga si Bujang. Biarpun begitu, mereka tidak putus asa, dan masih sempat menghambakan diri kepada sang Pemberi Kebahagiaan.


Mentari kini sudah jatuh ke arah barat, sebagian lingkaranya terbenam oleh lautan seraya mempertontonkan kemerahan warnanya dan keagungan sang Maha Pencipta. Kampre-kampret mulai berani unjuk diri. Mereka terbang menabrak apa saja. Kala itu angin juga berhembus sangat sepoi dan semilir. Membelai sarung-sarung warga yang hendak menghambakan diri dengan hina di hadapan-Nya.


Tak lama kemudian tampak si Bujang keluar rumah dengan songkok menutupi kepalanya. Baju yang ia pakai tampak sedikit kusut karena belum tergosok, dan sarungnya tampak lusuh. Tetapi, masih juga ia pakai. Entah ia tidak punya uang untuk membeli sarung, ataupun mungkin uang yang ia punya, ia pergunakan untuk keperluan yang lebih penting.


Begitulah kesederhanaan si Bujang, ia tidak malu memakainya, memang begitulah semestinya, berpenampilan apa adanya. Hasrat ingin berpenampilan seperti pemuda lain yang menggunakan baju rapi dan sarung yang tak kusam, tapi apalah daya, untung-untung ia masih bisa makan.


Tak lama kemudian terlihat pula kedua adiknya, dengan diiringi oleh sang ibu keluar dari rumah. Tentu saja bujang dan kedua adiknya hendak pergi ke surau untuk melaksakan kewajiban sebagai seorang hamba. Ketika itu mereka bersalaman dengan ibu dan melangkahkan kaki menuju surau. Kaki melangkahkan meninggalkan rumah, tak lama kemudian terdengar pula suara beduk dipukul dengan keras, menandakan waktu masuknya waktu shalat. Dan waktunya para warga meninggalkan sejenak aktivitas dan kembali kepelukan-Nya. Untuk bercinta dan bermesra dalam setiap ayat dan doa yang dilantunkan.


Ketika di perjalanan, bujang bertemu banyak warga yang juga hendak menunaikan kewajiban. Selain menunaikan kewajiban sebagai hamba, mereka juga ingin ikut hadir di pengajian yang dilakukan di balai pak Safruddin, seperti biasanya. Surau itu terletak bersebelahan dengan balai dan rumah pak Safruddin.


Sesampainya di depan rumah pak Safruddin, ketika itu juga Ayu keluar dari rumah. si Bujang terpelongo melihat Ayu, dengan mudawwarah yang melilit kepalanya dan mukenah yang terlipat rapi dan tergantung di tangannya. Ayu terlihat anggun dan molek. Awalnya ia tidak menyadari bahwa ada si Bujang yang tengah berdiri di depan rumah, karena ia sedang sibuk membetuli mudawwarahnya.


“Assalamualaikum Ayu.” Bujang memberikan salam kepada seorang anak gadis pak Safruddin yang anggun itu.


“Eh, bang Bujang.... waalaikumsalam.” jawab Ayu dengan suara indahnya yang keluar melalui bibir mungilnya yang keliatan merah merekah.


“Dek Ayu hendak kesurau?” bujang berbasa-basi.


Tentu saja Ayu hendak ke surau, untuk menunaikan kewajiban, toh si Bujang juga melihat mukena yang berada di tangan Ayu.


“Ia bang Bujang. Ini mukenah, hendak kemana lagi kaki ini melangkah, selain ke surau.” Ayu menjawab pertanyaan konyol si Bujang, dan tampak senyumnya merekah indah sekali, seperti mekarnya bunga mawar dipagi hari.


Bujang pun membalas senyuman itu, kemudian berucap “kalau begitu abang duluan” Bujang segera melangkahkan kaki dan berlalu meninggalkan halaman rumah. hanya senyum dan keramahan Ayu yang ia bawa.


Umurnya dan umur Ayu tidaklah jauh beda, umur mereka hanya selang satu tahun. Bujang berumur dua puluh tahun dan Ayu sembilan belas tahun.


Tidak lama kemudian Ayu bersama kedua orang tuanya pun melangkah menuju surau. Sang ayah tampak dengan kharismanya berjalan menembus suara-suara jangkrik yang sedang bertasbih searaya memuji kepada sang Maha Kuasa. Dan anginpun membelai lembut sarung dan kedua mudawwarah yang terlilit menutupi kepala Ayu dan ibunya. Sesampainya di surau, mereka menunaikan shalat, dan bercinta kepada-Nya.


Tak lama kemudian percintaan pun usai dilaksanakan. Melakukan percintaan dengan sang Pemilik Cinta. Melebur dan fana dalam belaian cinta dan kasih-Nya. Sehingga tak terasa pula cepatnya waktu berlalui. Segera mereka mengucapkan salam seraya memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri, pertanda waktu bercinta dan berkasih sayang telah usai.


Kini para jamaah berzikir bersama, melantunkan puji-pujian kepada-Nya dan juga kepada para kekasih-Nya, yaitu baginda penghulu dunia. Suara-suara pujian membumbung tinggi ke seantro penjuru bumi. Bukan hanya hamba-hambanya yang sedang berada di dalam surau saja. Tetapi juga seluruh makhluk-Nya turut melakukan puji-pujian kepada-Nya, dengan berbagai cara yang sudah ditetapkan-Nya.


Angin-angin yang berhembus semilir mebelai dedaunan yang masih terpatri di ranting-ranting pohon. dari belaian itu, terdengarlah pujian kepada sang Pemilik Suara. Ombak-mbak menghempaskan gelombangnya ke tepian pantai, yang membuat pasir-pasir terkikis, seperti terkikisnya dosa oleh ampunan-Nya. Itu juga merupakan ucapan terimakasih alam kepada Tuhan yang Maha Esa.


Waktu isya pun masuk. yang bertugas memukul beduk pun melaksanakan tuganya, bersiap-siap hendak mengayunkan pukulannya dengan keras ke arah beduk. Supaya keluar suara yang keras, menyentakkan hati-hati yang keras, beku, dan kotor. Supaya tergerak hati dan kaki, kemudian melangkahkan kaki untuk bersujud dan mengakui kehambaannya di muka bumi ini.


Tak lama kemudian shalat pun usai didirikan. Kini waktunya para jamaah mendengarkan dawuh-dawuh dan hikmah-hikmah yang diberikan oleh pak Safruddin.


Kala itu, suara jangkrik sudah tidak berbunyi lagi, entah kemana perginya. Mungkin ia paham akan ketidaknyamanan manusia, dikarenakan suaranya yang bising, ataupun ia sudah letih untuk mengeluarkan suaranya kembali.


Para jamaah yang berada di surau, mulai turun, mengangkat kaki-kaki mereka dan melangkah meninggalkan surau, dan menuju balai pengajian yang berada di halaman rumah pak Safruddin.


Yang datang ke pengajian bukan hanya para orang tua saja. Tetapi juga anak kecil. Bocah-bocah kampung itu bukanlah ikut nimbrung ke dalam pengajian yang nantinya di ajarkan oleh pak Safruddin. akan tetapi, Ayulah yang mengajarkan anak-anak kecil itu untuk membaca al-Quran di tempat biasanya Ayu mengajar, di beranda rumah yang beralaskan tikar bambu yang disulam.


Memang Ayu pandai mengaji dan pandai pula mengajarkan anak-anak mengaji. Itulah sebabnya banyak sekali orang tua yang mempunyai anak lajang, dan kemudian terpikat hati kepada Ayu dan menawarkan anak mereka kepada pak Safruddin. Agar keluarga mereka, bertali mengikat cinta bermadu kasih. tapi apalah daya orang tua yang memiliki anak lajang itu, tawaran demi tawaran pun ditolak oleh pak Safruddin. Padahal gadis cantik semolek Ayu itu sudah saatnya melayarkan bahtera rumah tangga dan mengecap cinta bersama sang pendamping.


Pak Safruddin tau yang terbaik untuk anaknya tercinta. Pak Safruddin paham, bahwa, melayarkan bahtera rumah tangga tidak semudah yang dipikirkan oleh remaja-remaja sekarang ini. Ia sangat sayang kepada anaknya. sehingga nantinya ada seseorang yang cocok dan pantas untuk bertali cinta dengan anaknya.


Pengajian sudah dimulai, hanya ada lentera yang memberikan penerangan di balai itu, cahaya itu dengan beraninya menepis gulita, dan menemani setiap jamaah pengajian yang ada. Para jamaah duduk mendengarkan setiap dawuh dan butir-butir hikmah yang keluar dari mulut pak Safruddin. Kali ini pengajian-nya mengenai “sabar dan syukur.”


“Iman, itu terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah kesabaran dan selebihnya itu adalah rasa syukur. Adapun yang harus para jamaah ketahui tentang hakikat kesabaran adalah: kesabaran itu sendiri terdiri dari pengetahuan, keadaan, dan juga amal. pengetahuan di dalamnya diibaratkan seperti pohon, keadan seperti ranting, dan amal seperti buah. Dan kesabaran yang paling terbesar dan yang harus ada di dalam diri setiap muslim adalah sabar dalam menahan diri dari melampiaskan syahwat, dan berlarut-larut dalam melakukan-nya.” Tutur butiran hikmah dari pak Safruddin mengalir dengan tenangnya, namun pasti. Menabrak dinding hati yang beku, dan kotor, jiwa-jiwa yang haus akan hikmah kini telah tersirami.


Terlihatlah wajah keseriusan para jamaah, dalam mendengar setiap dawuh yang keluar dari mulut pak Safruddin dan kemudian masuk melesat menembus hati-hati mereka dan kemudian terpatri di dalamnya.


“Dan adapun syukur itu adalah, dinyatakan dengan mengetahui bahwasanya tiadalah pemberi kenikmatan melainkan Allah semata. Oleh karena itu marilah kita semua agar mempunyai kedua sifat yang dicintai oleh Allah ini. sudah barang pasti, hidup kita semua akan tenteram dan damai.” Lanjut pak Safruddin dengan suara yang tampak pada dirinya kharisma.


Malam itu, angin berhembus agak sedikit kencang, yang membuat para jamaah merasakan kedinginan. Begitu pula dengan si Bujang yang sedari tadi mendengarkan dengan khidmat dawuh-dawuh dan butiran hikmah.


Ia memalingkan wajahnya ke arah beranda rumah, dan terlihatlah Ayu sedang mengajar bocah kampung dan juga kedua adiknya yang berada di situ. Ia lihat lekat, bagaimana dengan penuh kesabaran Ayu menghadapi anak-anak kecil. Bertambah-tambahlah keanggunannya dan keindahannya. Mudawwarah yang dililitkan di kepalanya itu sesekali dihembus oleh angin dan dibelai lembut.


Bujang terus melihat Ayu mencuri-curi pandang, sesekali ia memalingkan kepalanya dan kembali menghadap pak Safruddin, hatipun tak sanggup dibendung, tak lama kemudian, ia menolehkan lagi wajahnya melihat si Ayu yang cantik jelita itu.


Tak terdengar oleh si Bujang bahwa pak Safruddin mengucapkan salam, pertanda pengajian telah usai. Dan seketika itu juga Bujang tersentak dan dengan cepat memalingkan wajahnya dari beranda rumah. Entah apa yang ada dalam pikiran si Bujang ketika melihat Ayu.


Malam sudah semakin pekat oleh gulita. Minyak pelita yang menemani pengajian sudah mau habis. Kini para jamaah berbondong turun dari balai. Dan ketika itu juga Ayu pun menyudahi pembelajarannya, belajar membaca al-Quran besama anak-anak.


Kini orang tua anak sedang menunggu di halaman rumah. dan satu-persatu anak-anak pergi meninggalkan beranda rumah dan berlalu meninggalkan halaman rumah pak Safruddin.


Kini yang tinggal hanyalah kedua adik si Bujang. Yang sedang membereskan al-Quran mereka. pak Safruddin sudah sedari tadi masuk kedalam rumah. yang tinggal di halaman hanyalah Ayu, bujang, dan kedua adiknya.


“Bang Bujang” sapa Ayu kepada Bujang sambil tersenyum manis. “Tidak mampir dulu?” lanjutnya seraya bertanya. Yang pastinya hanya berbasa-basi saja.


“Emm...tidak usah Ayu, terimakasih. Hari sudah semakin gelap, kami harus segera pulang” jawab Bujang sedikit gugup karena malu.


“Ooh...baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan” tutur Ayu dengan suara lembutnya.


“Iya... terimakasih Ayu” jawab bujang singkat kepada Ayu. Dan kemudian mengarahkan wajah kepada kedua adiknya yang sedari tadi hendak pulang. “ayo dik kita pulang.” Ajakan Bujang.


“Ucapkan salam dulu pada kak Ayu” perintah bujang kepada kedua adiknya.


“Assalamualaikum kak Ayu.” kedua adiknya mengucapkan salam kepada Ayu. Kemudian diikuti oleh ucapan salam si Bujang, “assalamualaikum Ayu."


“Waalaikumsalam, hati-hati, Siti, Benu.....” jawab Ayu sambil melambaikan tangan kepada kedua adik Bujang. Dan mereka pun melangkahkan kaki keluar dari halaman rumah dan hilang dari pandangan Ayu. Ayu pun masuk kedalam rumah meninggalkan pelataran.


Malam sangatlah pekat dan angin malam sangatlah menusuk hingga ke tulang. Jalan menuju rumah hanya di terangi oleh obor-obor yang berada di pagar halaman rumah warga.


Sesampainya mereka di rumah, sang ibu sudah menunggu di beranda rumah, dengan ditemani lentera yang memberikan sedikit cahaya. Lalu bujang dan kedua adiknya mencuci kaki mereka dengan air yang berada dalam kendi yang terletak di halaman rumah.


Kemudian masuklah mereka kerumah, kedua adiknya tampak lelah dan terkantuk, mereka menuju ke kamar dengan digiring sang ibu. Dan si Bujang masuk pula ke kamarnya. Di dalam kamar, bujang hanya bercahayakan pelita, pelita itulah yang menemani malam-malam bujang. Bujang pun merebahkan badan-nya di kasur dari kapas yang tipis, dan ranjang yang terbuat dari bambu.


Disitulah pembaringan si Bujang, ketika hendak memicingkan mata, mulailah terbayang dalam pikiran-nya dan menari-nari dalam benaknya sesosok wanita cantik, anggun, dan molek yang baru saja becakap-cakap dengan singkat dengan-nya. Yang dipikirkannya adalah anaknya pak Safruddin, si Ayu yang cantik jelita itu.


Entah mengapa ia terus memikirkannya, tidak biasanya ia seperti ini. sesekali, ia bumi hanguskan pikiran itu dari benaknya, tetapi lama kemudian muncul lagi. kemudian kata hatinya mengerutu “Ayu sangatlah cantik, ia gadis yang anggun, sholehah, dan juga pintar mengaji. Aku sepertinya tertarik hati pada gadis itu.”


Mungkin si Bujang mulai merasakan masa-masa keremajaan-nya, rasa cinta mungkin saja mulai tumbuh di dalam hatinya. Dan rasa ketertarikannya pada wanita mungkin sudah mulai tampak jelas dan tak bisa sembunyikan lagi.


Apalah arti hidup, tanpa mencicipi rempah cinta, dan apalah arti cinta tanpa mendapati orang yang dicintai.


Malam terus berjalan, dan waktu terus mendorong gelap. Rasa yang sedang berkecamuk di dalam hati si Bujang tidak dapat untuk diredahkan lagi. perasaan itu terus berkobar-kobar di dalam dadanya. Sunyi begitu setia menemani gelap, seperti setianya lentera menemani malam-malam si Bujang.


Tak lama kemudian, Bujang pun terlelap dalam perasaan yang berkobar-kobar kepada Ayu. Berharap Ayu hadir dalam mimpinya, berharap dirakitkannya mimpi oleh sang Pemberi Mimpi, bersama-sama merajut asa dalam percintaan dan sama-sama membelai kasih dalam kedamaian, kedamaian pertalian hati.

28 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page