top of page
mediarasa

Bunga Hati #BabLima

Oleh: Inlander


Matari tampak mulai ingin keluar di ufuk Timur. Cahayanya yang malu-malu itu indah sekali, menenangkan hati dan pikiran siapa saja yang menatapnya. Angin kala itu semilir membelai dedaunan, pagi itu angin sejuk sekali. Dari bibir pantai, jika melihat ke arah lautan, tampaklah kerlap-kerlip cahaya kecil yang berasal dari kapal-kapal nelayan. Indah memang pemandangan itu. Dengan suasana yang masih gelap, akan tetapi cahaya dari Timur mulai tampak unjuk diri dengan malu-malu.


Di dalam setiap gubuk yang berada di Kampung Padang itu, masih ada yang terlelap merangkai mimpi-mimpi indah. Tak disadarinya bahwa panggilan Tuhan sudah dikumandangkan sedari tadi. selain itu, tidak sedikit pula di dalam gubuk-gubuk yang tampak reok ada yang menengadahkan tangan seraya menghambakan diri di hadapan-Nya. Para ibu-ibu telah tampak di dapur sedang mempersiapkan sarapan pagi untuk anak suami. Iya sarapan pagi, apa adanya saja sarapan pagi itu.


Matahari terus mendorong gulita agar cepat-cepat pergi meninggalkan bumi manusia. Sekarang saat matahari yang ingin tampil menampakkan kilauannya yang hangat. Pagi itu sudah menunjukkan pukul tujuh. Manusia sudah melakukan aktivitasnya sebagaimana mestinya. mencari apa yang bisa dicari, bekerja apa yang bisa dikerjakan dan berharap apa yang bisa diharapkan. Istri seorang nelayan terntu saja mengharapkan kepulangan suami yang sudah beberapa hari melayarkan perahunya ke tengah laut. seorang anak mengharapkan kepulangan ayahnya, supaya bisa makan enak hari ini dari tangkapan sang ayah.


Tetapi tidak dengan keluarga si Bujang. Ia tak bisa lagi mengharapkan kepulangan sang ayah, ayahnya sudah pulang kepangkuan-Nya untuk selamanya. Yang bisa ia harapkan adalah hasil kerja kerasnya sendiri untuk menghidupi keluarga.


Pagi itu, tampak Bujang sedang membereskan hasil panen lombok yang ia petik sedari tadi. Selain Bujang, pun tampak di sana juga ada ibu Bujang yang sedang membantu Bujang untuk juga membereskan hasil panen yang ada.


Hasil panen pun selesai terbungkus dalam karung, sekarang waktunya lombok itu dibawa ke tempat perniagaan. Ya, kemana lagi selain ke pasar. Bujang terlihat letih setelah memetik lombok sedari tadi.


“Jang, cucilah mukamu dulu. Terus bawalah hasil panen ini ke pasar.” Perintah ibu kepada Bujang.


“Iya bu.” Jawabnya singkat saja dan terus berjalan ke kendi yang ada di depan rumah.


Setelah itu ia tampak segar, wajahnya terlihat tak seletih tadi. letihnya itu sudah ia campakkan jauh meninggalkan dirinya, karena mengingat-ingat berapa hasil dari penjualannya hari ini. Sesekali ia tampak sedang berpikir, entah apa yang ia pikirkan. Mungkin saja ia memikirkan kalau saja hasil panen itu ditawar dengan harga rendah. Apa ia cukup untuk keperluan keluarganya kedepan.


Ya, begitulah kehidupan keluarga Bujang. Ayah ia tak punya lagi, pekerjaan pun ia tak miliki secara tetap. Ia hanya bisa menggarap kebun yang berada di belakang rumah. syukur-syukur masih ada sebidang tanah untuk bisa ditanamkan tumbuhan untuk mendapatkan penghasilan.


“Kamu sudah siap nak?” tanya sang ibu.


“Sudah bu, adik-adik kemana bu? Kok tidak kelihatan dari tadi.” tanya Bujang kepada ibu dengan cemas.


“Oh, adikmu itu di rumah buk Milah, sedang main dengan anaknya buk Milah.” Jawab ibu.


“Sudah makan mereka bu?”


“Iya, tadi mereka sudah makan. Ibu yang suapin.” Jawab ibu, “ini barangnya, kamu bawa ke pasar sana. Ingat, jangan berikan dengan harga yang murah.” Lanjut ibu sekaligus memerintah.


“Iya bu, nanti aku tidak berikan dengan harga murah.” Jawab Bujang.


Langsung ia ambil hasil panen itu, ia pikul di pundak dan ia melangkahkan kaki menuju pasar. Pasar yang tak jauh dari rumah. Pasar itu di kampung sebelah, Kampung Manggis.


Setelah ia sampai di pasar, langsung ia menuju ke pak Baron, tempat ia sering menjual hasil panennya. Tampak pak Baron sedang sibuk melayani para pembeli, cukup ramai pembeli hari ini. Rezeki pak Baron berjalan lancar, Syukurlah. ia duduk sebentar di sebelah tempat pak Baron berjualan. Ia tatap setiap sudut pasar, ia tatap setiap orang yang sedari tadi mondar-mandir di hadapannya dan ia dengar kericuhan suara yang entah itu dari mulut mana keluarnya.


Ia termenung sejenak ketika menatap salah seorang pemuda yang berpakaian rapi dan bersih, bersepatu pula orang itu kiranya. Berjalan dengan santainya melewati para penjual di pasar. Pemuda itu pasti anak orang kaya, ayahnya pasti orang terpandang. Darimana pula kiranya orang itu berasal. Kira-kira seperti itu yang terlintas dalam benak si Bujang.


Terus ia tatap pemuda itu dengan lekatnya, tak terasa pembeli pak baron mulai berkurang. Bujang pun tak menyadari itu, ia sedang asik melihat pemuda gagah itu dengan cerutu yang terdapat di tangannya.


“Hei Buajang, apa yang kamu lamunkan?” Tegur pak Baron kepada Bujang. Tersentak bujang dari lamunannya. Terus ia tatap pula pak Baron, terus ia tatap lagi pemuda itu. Seperti kebingungan Bujang kala itu.


“Hai Bujang, kesinilah!” Perintah pak Baron. Bujang pun langsung beranjak dari tempat duduknya dan menuju pak Baron sambil menyodorkan hasil panennya.


“Ini hasil panen kali ini pak, Alhamdulillah hasilnya lumayan baik.” Kata Bujang.


“Bawa sini biar saya lihat.” Dilihatlah hasil panen si Bujang yang tak banyak itu. “Wah, ini luar biasa bagusnya.” Lanjut pak Baron dengan wajah girang.


“Ini uangnya seperti biasa, hitunglah dulu.” Kata pak Baron sekalian dengan mengulurkan uang ke Bujang. Kemudian ia lanjutkan melihat-lihat secara teiliti lagi lombok itu.


“Pak Baron, tidakkah boleh di tambah barang sedikit lagi uangnya?” Tanya Bujang berharap.


Mulai berpikirlah pak Baron. Tampak ia sedang mempertimbangkan tawaran si Bujang. “Lomboknya lebih bagus dari lombok hasil panen yang kemarin.” Tampak ia sedang berpikir lagi, kepalanya yang tak berambut lagi tampak menekuh menimbang-nimbang untung rugi dan keningnya tampak pula berkerut.


“Iya boleh.” Kata pak Baron.


Itulah kata yang ditunggu-tunggu si Bujang. Bujang berharap sekali agar diberikan harga yang lebih dari semestinya. Ya, harapannya dikabulkan. Kemudian “pak Baron, pemuda kaya yang barusan lewat itu siapa? Tak pernah ku lihat ia sebelumnya di sini.” Tanya Bujang yang masih penasaran dengan pemuda gagah tadi.


“Oh itu, dia anak pak Karni, juragan tanah dari kampung sebelah. Kampung Pawoh.” Jawab pak Baron.


Bujang masih terlihat kebingungan, ia tak pernah melihat pemuda itu sebelumnya di pasar ini. Dimana saja ia selama ini, kenapa dari dulu tidak kelihatan.


“Ada apa Bujang? Kenapa kamu menanyakan pemuda itu?” tanya pak Badron.


“Tidak pak, kenapa selama ini ia tak tampak di pasar ini? dimana ia selama ini?”


“Oh, kata orang-orang ia selama ini berada di Koetaradja sana. Sepertinya dia menempuh pendidikan di sana.” Jawab pak Badron.


“Pantas saja pakaiannya seperti itu, rupanya seorang terpelajar.” Kata bujang yang tak tahu kepada siapa ia tujukan. “Sungguh beruntung sekali pak manusia yang terlahir dari golongan berduit dan mempunyai kehormatan. Hidupnya tidak pernah melarat, apa yang ia dapatkan semuanya dapat tanpa terkecuali. Hasil bumi dan hasil laut tinggal ia perintahkan menuju dirinya, ia dapatkan dengan mudah.” Kata Bujang kepada pak Badron.


Pak Badron hanya terlihat manggut-manggut saja.


“Saya pamit pulang dulu pak. Terimakasih banyak pak Badron, uang di saya barang di bapak.” Kata Bujang sambil menyalami tangan pak Badron.


Diangkatnya kaki melangkah hendak pulang menuju rumah. berharap ibu dan kedua adiknya di rumah senang dengan hasil tambahan dari hasil panen kali ini. Tak jauh ia melangkah dari pak Badron kira-kira sepuluh langkah saja ia jumpai Ayu seorang bunga desa itu, terlihat Ayu sedang membeli sesuatu. Ia tatap Ayu lekat dengan kedua mata kepalanya. Bujang membatin “Tuhan apa mimpiku semalam sehingga Engkau pertemukan aku dengan bunga desa itu?”


Ia perlambat langkahnya berharap Ayu menoleh kepadanya dan kemudian menyapanya. Ayu tak kunjung jua menoleh kepada Bujang. Ia perlambat lagi langkah kakinya, sesekali ia lihat dan tatap lagi sang bunga desa itu. Hasi tak seperti yang diharapkannya, Ayu tak jua menoleh. Melihat Ayu tak menoleh sedikitpun ia beranikan diri untuk menghampiri Ayu. Awalnya ia gusar dan gugup, tidak sepantasnya seorang Bujang kampung menghampiri bunga desa. Ia tempik semua perasaan itu, ia tetapkan hati dan ia langkah dengan pastinya.


“Dik Ayu,” keluar sapaan itu dari mulut Bujang.


Ayu terkejut, siapa kiranya yang menyapanya. Ia balikkan badan “ehh, bang Bujang.”


Bujang bukan main perasaan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. Bunga desa itu, siapa yang tidak tercantol hati padanya. Parasnya indah, resamnya tinggi dan berisi. Kulitnya halus putih, matanya bulat, lkukan bibirnya indah, terbalut pula kepalanya oleh mudawarah, terselamatkan paras indah dan kecantikannya oleh mudawarah yang dikenakannya. “Tuhan, adakah bidadari yang Kau sediakan di surga melebihi bunga desa yang sedang berada dihadapanku ini?” suara hati Bujang.


“Bang Bujang,” Ayu tegur Bujang yang sedang melamun.” Apa yang sedang bang Bujang lamunkan?” Ayu bigung melihat Bujang.


“Eh, ehmmm.... maaf dik Ayu, tidak ada apa-apa,” Bujang tersadar dari lamunannya dan memperbaiki sikap di depan bunga desa yang ia kagumi itu. “Sudah lama dik Ayu di pasar?”


“Belum terlalu lama bang Bujang,” jawab Ayu.


“Hendak membeli apa dik Ayu kiranya?”


“Oh, ini bang Bujang. Ibu menyuruhku membeli peralatan masak untuk di dapur bang Bujang,” jawab Ayu dan ia tunjukkan beberapa belanjaan yang telah ia beli. “Bang Bujang sendiri ada keperluan apa di pasar?” tanya Ayu.


“Oh begitu ya dik,” tanggap Bujang. “Alhamdulillah, abang tadi baru saja menjual hasil panen ke pak Badron,” jawab Bujang dan tidak ia sadari ternyata bibirnya sedari tadi dalam keadaan tersenyum.


“Alhamdulilah, bagaiamana hasil panennya bang Bujang?” tanya Ayu.


“Syukur alhamdulillah, hasil panen kali ini sangat memuaskan dik Ayu,” jawab Bujang, dan senyum masih saja seperti tadi.


“Alhamdulillah, Allah berikan rezeki lebih kali ini kepada bang Bujang dan keluarga,” kata Ayu dan terlihat keelokan budi pekerti dan juga keilmuannya.


Tak ada henti-hentinya keluar ucapan syukur kepada Tuhan yang sudah memberikan dan menetapkan setiap rezeki makhluknya. akan tetapi tidak sedikit juga di antara makhluknya lupa akan rasa syukur kepada-Nya. Tidak dengan keluarga si Bujang, biarpun hidupnya tidak seperti kebanyakan anak lainya yang hidup layak dan pantas di bumi Tuhan ini. Apalah daya Bujang dan kedua adiknya, ayah tak lagi punya, peninggalan bukanlah emas segunung dan bukan pula uang bertali-tali. Hanya sebidang tanah di belakang rumah yang ia gunakan untuk bercocok tanam untuk memenuhi keutuhan disetiap harinya. Pun dengan sebidang tanah itu ia masih tetap saja dalam rasa syukur dan tak pernah luput dari kewajibannya sebagai seorang hamba. Dan keluarga itu menyadari bahwa seorang hamba membutuhkan kepada Tuhan.


“Masih banyak yang harus dibeli lagi dik Ayu,” tanya Bujang dengan sebongkah harapan di dalam hati.


“Oh sudah semua bang Bujang, sudah lengkap semua yang diperlukan di dapur.”


“Setelah itu langsung pulang atau ada keperluan lain?” tanya bujang dan masih saja sebongkah harapan itu tetap di dalam hatinya.


“Tidak ada bang Bujang, setelah ini Ayu langsung saja pulang. Ibu sudah menunggu di rumah.”


“Kebetulan,” jawab bujang dan tampak wajahnya girang dengan senyuman merekah.

“Kebetulan apa bang Bujang?” tanya sang bunga desa kebingungan.


“Oh, tidak ada apa-apa dik Ayu. Begini, kebetulan abang juga mau pulang. Mungkin dik Ayu mau pulang sekalian,” jawab Bujang dengan harapan yang tadinya terpendam dalam hati kemudian keluar juga kiranya.


“Oh begitu kiranya bang Bujang. Boleh-boleh saja bang, tapi bang Bujang mau menunggu barang sebentar? Barang-barang ini belum lagi terbayar,” jawab Ayu dengan senyumnya yang indah itu.


Kala itu bukan main girangnya hati si Bujang. tak tau bagaimana lagi untuk mengungkapkan kegembiraan itu. Sebongkah harapan yang ada di dalam hatinya dikabulkan juga oleh tujuan harapan itu. Hati girang dan wajah tidak kalah girangnya. Raut muka Bujang menampakkan kegirangan yang berlebihan. Benar, mimpi apa si Bujang semalam sehingga mampu berjalan bergandengan dengan bunga desa itu. “Tuhan, mimpi apa aku semalam, ternyata bidadari yang ada di surga-Mu kalah dengan seorang bunga desaku.” Suara batin Bujang.


Sangking kegirangannya si Bujang tak ada satu patah kata pun terucap olehnya. Hanya kepala yang bisa dianggukkan untuk mengiyakan permintaan sang bunga desa. Pangkat ia tak punya, apalagi dengan harta tidak ada yang bisa dibanggakan. Apalagi dengan perawakannya, tidak memungkinkan untuk menggandeng seorang bunga desa yang diperebutkan oleh seluruh pemuda kampung bahkan kampung sebelah juga kiranya.


“Sudah selesai bang Bujang, ayo kita pulang,” ajakan bunga desa memecahkan lamunan Bujang.


Entah apa yang sedang ia lamunkan sedari tadi.


“Oh iya Ayu, ayo kita pulang,” jawab Bujang. “Boleh kiranya abang bantu membawakan barang belanjaanmu?”


“Tidak usah payah-payah bang Bujang, saya bisa membawakannya sendiri.”


“Tidak apa-apa Ayu, sini biar abang bantu saja membawanya, barangnya kan agak banayak. biar abang bawakan sebagian biar lebih mudah,” paksa Bujang untuk membawakan barang itu.


“Iya sudah bang Bujang. barang yang ini saja bang Bujang bawa dan yang ini biar saya bawakan,” kata Ayu kepada Bujang sambil menyodorkan beberapa keranjang barang.


“Mari Ayu jalan duluan, biarlah abang jalan di belakang saja,” kata Bujang sambil mempersilahkan layiknya Ayu sebagai seorang ratu.


“Loh, mengapa mesti Ayu duluan yang berjalan? Kenapa tidak jalan bersama-sama saja?” tanya Ayu.


“Tidak enak jika nanti dilihat oleh warga Ayu, bang Bujang tak layak berjalan bersanding dua dengan Ayu. Apa kata warga nanti,” jawab Bujang seraya merendahkan diri.


“Kalau itu janganlah bang Bujang gusar, kita sama manusianya, tak ada yang berbeda, bang Bujang manusia saya pun juga manusia biasa dan tak lekang sedikitpun dari dosa. Biarpun saya anak seorang pemuka agama,” jawab Ayu dengan tenangnya.


Mendengar jawaban bunga desa itu semakin menjadi-jadilah kesukaan Bujang pada Ayu.


“Tuhan, kali ini bidadari yang telah Kau persiapkan betul-betul telah kalah saing dengan bunga desa yang satu ini,” suara batin Bujang kembali mengadu pada Tuhan.

“Mari Ayu,” kata Bujang dan kemudian mereka melangkahkan kaki meninggalkan pasar.


“Bang Bujang, bagaimana kabar Siti dan Benu?” tanya Ayu berbasa-basi.


“Alhamdulillah, mereka baik-baik saja,” jawab Bujang masih saja dengan senyumannya. “Bagaimana dengan orang tua Ayu, apakah sehat-sehat saja?” tanya Bujang kali ini dengan berbasa-basi.


“Alhamdulillah bang Bujang ayah dan ibu selalu dalam lindungan Allah,” jawab Ayu seraya memuji Tuhan. “Bagaimana dengan ibu bang Bujang?”


“Alhamdulillah juga Ayu, ibu sehat-sehat saja.”


Terus sejoli itu melangkahkan kaki menuju rumah masing-masing. untuk sampai kerumah Ayu haruslah melewati bibir pantai terlebih dahulu. Memang rumahnya tak jauh kiranya dari bibir pantai.


“Ayu, boleh kiranya kita berjalan-jalan sebentar?” tanya Bujang dan berharap Ayu mengabulkan permintaannya.


“Buat apa bang Bujang? tidakkah nanti warga memikirkan yang bukan-bukan terhadap kita?”


“Apa yang kita perbuat Ayu, kita tak berbuat sesuatu pun yang melanggar syariat dan hukum Tuhan. Lagi pula abang Cuma mau mengajak Ayu untuk melihat-lihat pemandangan indah di kampung kita ini,” jawab Bujang dan terus ia berikan alasan agar Ayu mengabulkan permintaannya.


“Baiklah kalau itu niat baik bang Bujang.”


“Mari ikut abang Ayu, abang tunjukkan pemandangan bibir pantai yang indah. Ada satu tempat yang sangat indah, dan itu tempat biasanya abang menyendiri. Tempatnya indah, apalagi jika mata ditatap ke arah laut jika senja dan ditatap ke gunung jika matahari naik,” kata Bujang meyakinkan Ayu.


“Akan tetapi kita kesana matahari sudah naik begini. Apakah masih indah jua tempat itu?” tanya Ayu ragu kepada Bujang.


Bujang tersenyum “kapanpun tempat itu tetap jua indah. Senja dan subuh hanya menambahkan keindahannya. Mungkin sudah indah sejak alam ini diciptakan,” jawab Bujang yang terus meyakinkan Ayu.


Ayu pun mempercayai kata Bujang. Tidak sabar Ayu ingin melihat tempat yang indah itu. Sudah 19 tahun ia tinggal di kampung ini, belum pernah ia menemui tempat yang dikatakan si Bujang kepadanya.


“Ayo bang Bujang kita ke sana,” kata Ayu tak sabar ingin melihat tempat yang dikatakan Bujang. terlihat jelas dari air wajah yang indah parasnya.


Bukan main girangnya hati si Bujang kali ini. berjalan berdua saja sudah bukan main grang hatinya, apalagi Ayu mengabulkan permintaanya untuk dibawa ke tempat indah itu. Hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Besar. Tempat indah itu hanya secercah dari keindahan-Nya. Begitulah bumi negeri ini yang sering disebut orang dengan “taman sorga.”


Sesampai di tempat yang dikatakan Bujang, bukan main senangnya Ayu melihat-lihat pemandangan sekitar. Indah sekali, melebihi apa yang dikatakan si Bujang. Udara sejuk, angin semilir dan ombak terdengar menghantam tepian. Bukit-bukit batu terlihat membatasi antara pemukiman penduduk dengan bibir pantai. Tidak jauh dari tempat itu, terlihat biduk berjejeran di tepian pantai. Kicau burung sedari tadi memuji-muji Yang Maha Kuasa. Yang telah menciptakan alam sebegini indah.


Msyaallah, Subhanallah, Walhamdulillah. Indah sekali tempat ini bang Bujang. melebihi apa yang bang Bujang katakan. Kalau sebegini indahnya, kata apapun tak dapat mewakilinya,” kata Ayu tak henti-hentinya ia memuji Tuhan. Kenapa baru sekarang aku tahu tempat yang sangat indah ini? sudah bertahun saya tinggal di kampung ini, baru sekarang melihat dan merasakan tempat seindah ini: taman sorga kata orang-orang. Baru aku rasakan sekarang taman sorga yang sering orang-orang katakan. Syukur Alhamdulillah.”


Bujang kala itu hanya tersenyum-senyum senang melihat bunga desa bergembira. Senang hati Bujang melihat orang yang ia harapkan juga turut senang.


“Alhamdulillah Ayu. Beginilah ciptaan Tuhan, indah mewakili secercah keindahan-Nya. tetapi tak banyak orang menyadarinya, orang hanya sibuk dengan urusan duniawi, sampai-sampai melihat dan menikmati pemandangan sebegini indah saja tidak sempat. Bukankah ini pula yang menyebabkan rasa syukur kita kepada Tuhan semakin bertambah dan bukankah semacam ini jua yang membuat kita para makhluknya sadar bahwasanya Tuhan yang kita sembah itu Maha Kaya. Lihatlah tempat ini, hanya secercah keindahannya dari serpihan sudut bumi saja, bagaimana dengan sudut bumi lainnya. Maha Besar Allah.”


Medengar kata bujang yang begitu tenang dan mengguncang hati siapapun yang mendengarnya. Tertegunlah bunga desa itu, melihat air muka Bujang yang begitu sabar dan penuh rasa syukur menjalani kehidupan. Ia resapi kata demi kata yang keluar dari hati Bujang melesat pula jauh ke dalam lubuk hati Ayu.


“Orang boleh menuntut ilmu setinggi apapun, akan tetapi tanpa rasa syukur ilmu yang ia dapati tak ada artinya sama sekali. Bahkan ilmu yang ia dapati tak sedikitpun memberi bekas kepadanya dan kehidupannya. Orang boleh memiliki ilmu setinggi mungkin, akan tetapi tanpa pengalaman hidup, ilmu itu pun tak ada artinya sama sekali,” kata hati Ayu, seraya tertegun menatap Bujang dengan mata kosong.


“Ayu, Ayu....” Bujang memanggil Ayu yang terlihat sedang termenung.


“Eh, iya bang Bujang...... tidak ada apa-apa bang Bujang,” terbangun dari lamunan dan tatapan kosongnya. Kemudian Ayu tersipu malu melihat Bujang.


“Abang kira Ayu kenapa-kenapa. Mungkin saja ada makhluk yang merasuki Ayu,” kata Bujang sambil terkikik melihat Ayu tersipu malu. “Bagaimana dengan tempat ini, bagus bukan?”


Semakin tersipu bunga desa itu, “Bukan indah lagi bang Bujang, tenang sekali kalau berada di sini. Tidak ada kata yang mampu mewakili perasaan ini,” kata Ayu seraya menatap ke arah lautan lepas yang mengkilat-kilat terkena cahaya matari.


“Ayo Ayu kita pulang, abang mau menunjukkan ini saja kepada Ayu.”


“Oh, iya bang Bujang. ingin rasanya ingin berlama-lama di sini, akan tetapi waktu tak memungkinkan,” kata Ayu yang hatinya ingin berlama-lama di tempat indah itu.


“Lain waktu boleh Ayu berjalan-jalan ke sini untuk melihat pemandangan indah ini. waktu senja mungkin akan lebih lengkap keindahan itu dengan matahari tenggelam di ufuk barat dan dengan laut dan langit berwana kemerahan seiya sekata.”


“Insyaallah bang Bujang, lain waktu aku ke sini lagi melihat pemandangan indah di kampung sendiri,” kata Ayu seraya tersenyum, bibirnya mereah merekah, luluh hati Bujang melihat pemandangan indah yang satu ini, mengalahkan semua pemandangan sekitar.


“Engkau pemandangan terindah selama aku hidup Ayu,” suara hati Bujang kala itu terpelongo melihat Ayu.


“Ayo bang Bujang kita pulang,” kata Ayu menghancurkan keheningan hati Bujang.

“Eh, iya Ayu. Mari Ayu jalan dahulu.”


Mereka melangkahkan kaki meninggalkan tempat yang sangat indah itu. Akan tetapi tidak dengan si Bujang, keindahan yang sebenarnya ada di sampingnya. Beriringan seiya sekata dalam langkahnya menuju kediaman Ayu.


Sesampainya di halaman rumah Ayu, Bujang memberikan barang-barang kepada Ayu.


“Sudah sampai Ayu, abang pulang dahulu. Sampaikan salam kepada pak Safruddin dan buk Hasanah,” kata Bujang sambil tersenyum.


“Terimakasih banyak bang Bujang sudah mengantarkan saya pulang. Nanti saya sampaikan salamnya,”


“Baik Ayu, abang minta diri,” kata Bujang kepada Ayu sambil tersenyum dan kemudian memberikan tabik. “Asaalamualaikum Ayu,” kata Bujang dan menatap mata Ayu yang indah itu.


“Waalaikumsalam bang Bujang. hati-hatilah di jalan, sampaikan salamku kepada ibu bang Bujang,” kata Ayu dan juga memberi tabik.


Kaki dilangkahkan meninggalkan keindahan itu, keindahan yang terpancarkan dari resam Ayu sang bunga desa. Setelah beberapa langkah ia menoleh ke arah Ayu dan tersenyum, Ayu pun membalas senyum Bujang. Hilanglah Bujang dari pandangan Ayu dan hilang pula keindahan dari pandangan Buajang.


“Orang menyebutmu bunga desa, Ayu. Aku menyebutmu dengan kata hatiku bahwa: kau bunga hatiku,” kata hati Bujang.


***


Hari pun mulai gelap, matari tampak sudah condong ke ufuk barat dengan mengeluarkan cahaya kemerahan. Lautan dan langitpun dibuatnya seiya sekata dalam cahaya kemerahan itu. Para manusia yang berkeliaran di bibir pantai sudah menyadari akan kehambaannya. Bukan hanya manusia, makhluk-Nya yang lain pun menyadari hal itu. Kampret-kampret berterbangan di udara segar itu. Angin semilir, membeelai apa saja yang bisa dibelai, pohon kelapa yang berada di bibir pantai dibuatnya menari-nari layaknya penari yang sedang mempertunjukkan keindahan tariannya. Deru ombak terus menghantam ke tepian, ikut nimbrung dalam kegiatan puji-pujian itu. Angin semilir membelai dedaunan dan mengeluarkan bunyi orkesra alam dan itulah bunyi pujian yang ditujukan kepada-Nya. deru ombak sama halnya begitu, tak luput barang semenit pun untuk memuji-Nya.


Di sebuah rumah yang di depannya ada balai pengajian buat warga yang diadakan setiap jadwal yang sudah ditentukan. Terlihat seorang gadis impian semua lelaki, mantu idaman semua orang tua. Itulah sang bunga desa, Ayu lah namanya. Gadis elok rupanya, cantik parasnya, dan bagus budi pekertinya.


Tampak Ayu malam itu, dengan cublik yang terlekat di dinding menerangi kamar yang tak begitu luas itu. Di atas meja tampak tumpukan beberapa buku atau kitab pelajaran. Malam gulita, hanya ada cublik itu yang dapat menerangi setiap malam-malam Ayu. Ia duduk di atas ranjang dan agak menepi ke arah dinding. Ia sandarkan badannya ke dinding, ia letakkan bantal di atas paha. Matanya menerawang ke langit melalui jendela yang terbuka menghadap arah lautan lepas. Tenang sekali suasana malam itu, jagkrik-jangkrik tak lagi bersuara, tampaknya sudah terlelap sedari tadi.


Mata Ayu kosong menatap langit dan lautan lepas, tampak cahaya kerlap-kerlip dari perahu nelayan di tengah lautan lepas sana. Entah apa yang sedang Ayu pikirkan, lamunannya menusuk angin dan gulita malam. Jauh ke dalam, ke dalam lubuk hatinya sendiri.


Tampaknya ia terpikir juga seorang pemuda muda yang ditinggal pergi ayahnya itu. Bujang kah kiranya yang sedang dipikirkannya. Ya, Bujang yang sedang ia pikirkan. Akan tetapi ada apa dengan Buajang. Kenapa mensti Bujang yang ia pikirkan. Entahlah. Begitulah kalau seseorang sudah menarik hati, akan terkenang jua kapan dan dimanapun. Hati bagian tubuh yang paling dalam, jika bagian itu disentuh, luluh semua perasaan dan anggapan yang ada, hanya ada satu perasaan. Suatu perasaan yang kebanyakan orang miliki. Iya, perasaan itulah dia.


Badan yang tersender ke dinding tampaknya sudah memerlukan bahu seorang lelaki untuk disandarkan pula badan itu. Begitu kiranya pikir Ayu dalam lamunannya yang ditemani cublik yang terlekat di dinding itu. Ternyata ia terpikirkan si Bujang. Kejadian tadi siang tak dapat ia tepiskan, terngang-ngiang di ingatan dan segar pula dalam awangan. Terpukau dengan kata Bujang, seorang pemuda desanya, anak murid sendiri dari ayahnya. Bujang yang selalu hidup dengan kesederhanaan dan penuh rasa syukur. Itulah yang telah membuat Ayu terus memikirkan Bujang.


“Mengapa dengan hati ini Tuhan?” kata Ayu. “Mengapa selalu terkenang jua kiranya pemuda itu, perasaan apa yang sebenarnya sedang berkecamuk di dalam hati dan pikiranku ini?” lanjut Ayu. “Bang Bujang memanglah pemuda yang tidak kebanyakan pemuda lainnya, ia hidup dengan penuh kesabaran dan syukur yang berlebihan. Ia pun tak luput dari menghambakan diri kepadamu dan tak pernah bosan akan kelimuan yang ia cari, baik dari pembelajaran maupun dari kehidupannya. Tak pernah hamba merasakan perasaan sebegini rupanya. Apa salahku jika ini dosa, dan apa dosaku jika ini adalah kurnia.”


Malam berlalu begitu saja, tampak Ayu sudah terlelap dengan perasaan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. Entah sampai kapan perasaan itu akan tetap berlanjut di dalam hatinya. Angin semilir, kunang-kunang bertaburan memenuhi sudut tertentu, kampret sudah tidak tampak lagi dipermukaan, dan deru ombak masih saja tetap seperti biasanya memuji kebesaran-Nya. Oskestra alam pun malam itu memainkan lagu-lagunya, hanya orang-orang yang sadar akan itu yang dapat mengetahuinya. Gulita semakin pekat, tampak bulan yang tak penuh lingkarannya menerangi malam itu. Semua manusia terlelap dalam tidurnya merakit mimpi-mimpi indah. Bahkan tak sedikit yang tidak memejamkan matanya demi menghadap sang kekasih tercinta dan melebur dalam percintaan.

22 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page