top of page
mediarasa

Maria: Cocokologisme Hari Ibu dan Perayaan Natal

Oleh: Kang Aly


Sebagaimana yang sudah-sudah, hari ini, Sabtu (22/12) kita bersama sepakati sebagai hari ibu. Dalam tulisan saya kali ini, saya yang kebetulan sedang rindu-rindunya dengan rumah dan sedang gencar-gencarnya resah atas problem tahunan menjelang Natal mencoba mencari kecocokan antara muatan-subtansial serta sudut pandang yang luput terkait dengan dua seremonial ini.


Berbekal dengan ilmu bantu cocokologi (sebut saja demikian) yang kredibilitas serta elektabilitasnya sudah sangat diperhitungkan di kalangan manusia Jawa, saya secara subjektif menemukan beberapa fakta yang sengaja disembunyikan Tuhan. Yang kemudian membuat saya semakin mengamini sekaligus mengimami dawuh “Dalang Edan”—Sujiwo Tedjo, bahwasannya Tuhan itu Maha Asyik cuk!. Dikuatkan juga dengan kepercayaan Raelian yang menyebutkan—Tuhan itu sukak bersenang-senang.

Lhah?! Kalau gak ada dalilnya di al-Quran dan Hadis yooo keccuuuut..!. Waduh, oke2. Mohon bersabar untuk sahabat-sahabat saya yang kebetulan menganut agama Islam (garis lurus). al-Quran sendiri juga memberi kode, bahwa kehidupan ini adalah permainan dan sendau gurau.


Maka, semoga tafsir terhadap realitas subjektivitas saya ini panjenengan maknai sebagai media bersenang-senang tanpa mengurangi subtansi pembelajaran yang termaktub (semoga ada). Dan semoga membuka pola pikir kita bersama bahwa nyatanya Tuhan itu sukak gojekan. Bahwa nyatanya Tuhan tidak semenakutkan seperti yang diserukan golongan-golongan non-kafir (maksud saya Islam Surgawi atau mbuh apalah itu).


Ada yang unik memang menjelang akhir tahun, yang secara sadar atau tidak kita seringkali mengabaikan fakta tersebut. Secara Cocokologisme, hari ibu yang kita peringati setiap tanggal 22 Desember memiliki korelasi cukup intim dengan Hari Raya Natal yang dirayakan umat Nasrani setiap 25 Desember—dua hari pasca hari ibu.


Bicara soal hari ibu, adagium yang klise di kalangan kita (muslim) barangtentu adalah “surga di bawah telapak kaki ibu” atau “ridha Allah, ridha ibu, murka Allah, murka ibu”. Mono-Reference seperti ini yang kemudian memberi jarak antara Islam dengan Nasrani, dengan efek lanjutan problem tahunan masyarakat Islam Indonesia yang setiap tahunnya selalu saja mendiskusikan halal-haram ucapan “selamat Natal”. Kokk ya tak jemu-jemu arek-arek Iki hmmm.


Mari kita korelasikan—jika Natal adalah peringatan kelahiran Isa al-Masih (Yesus), maka hari ibu adalah penghormatan terhadap Maria sebagai yang telah melahirkan Yesus. Jadi pada prinsipnya, terdapat hubungan kausal antara dua seremoni tersebut, apalagi jika melihat interval antara hari ibu dengan Natal hanya berjarak dua hari saja. Atau kalau boleh saya katakan, dalam konteks ini, tidak hanya hari ibu, hari Natalpun sejatinya juga patut dirayakan umat Islam. Sebab Isa (Yesus) dan Maria adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.


Meskipun secara teologis persepsi Islam dan Nasrani terhadap Yesus jelas berbeda, namun perlu digarisbawahi, bahwa Yesus mendapat porsi sentral dalam wilayah keimanan umat muslim. Mengutip apa kata Dr. Zakir Naik, “sebelum jadi Islam, kita harus jadi Nasrani dulu” maka perlu kita tumbuhkan kembali kesadaran bahwa dalam rukun iman, terdapat poin di mana umat muslim harus mengimani para Nabi—termasuk Yesus untuk memenuhi syarat keimanannya.


Maka secara subtansial, umat Islam sesungguhnya sah-sah saja turut merayakan dan memberi ucapan “selamat” terhadap Nasrani. Islam dan Nasrani punya kepentingan bersama dalam perayaan Natal sebagaimana dalam merayakan hari ibu. Tentunya dengan persepsi terhadap posisi Yesus sesuai keyakinannya masing-masing.


Kemudian jika bicara sosok Maria, adalah rangkuman dari seluruh sifat keibuan dan simbol toleransi. Jika dikaitkan dengan hari ibu, banyak hal yang bisa diambil tentunyadari Maria. Maria adalah sosok ibu yang tangguh dan pengasih, berikut dengan sifat-sifat mulia ibu yang barangkali para pembaca sudah hafal dan tahu tentang kisah perjalanan Maria selama mengandung sampai melahirkan Yesus di bawah pohon kurma.


Satu sifat dari Maria yang mengharuskan saya menulis catatan ini adalah perihal keikhlasan seorang Maria. Betapa dia—perempuan suci dan taat beribadah itu harus menerima “kenyataan” hamil tanpa suami. Maria menerima dengan sepenuh hati—tanpa protes. Keikhlasan yang kemudian diwarisi oleh Maria Sutris Winarni, warga RT. 53 RW. 13 Purbayan, Kotagede, Yogyakarta yang dengan ikhlas membiarkan warga memotong simbol salib pada nisan sang suami, Albertus Slamet Sugihardi. Dia menerimanya dengan sepenuh hati dan tanpa protes. Dan tidak menuding tindakan pemotongan simbol salib tersebut sebagai bentuk penistaan terhadap agama Nasrani.

Bayangkan jika posisinya terbalik -- umat Islam yang berada dalam posisi ibu Maria, sudah bisa kita tebak apa yang akan terjadi berikutnya. Kegaduhan, demonstrasi, dengan dalih “penistaan agama”.


Ibu Maria tidak mempermasalahkan hal tersebut dan dengan ringan menganggap itu sebagai bentuk penghormatannya terhadap warga yang mayoritas penganut Islam. Sungguh sangat memprihatinkan, di mana situasi justru terbalik, warga mayoritas yang seharusnya memberi kenyamanan dan keamanan bagi yang minoritas justru meminta warga minoritas untuk mengalah.


Pihak keluarga ibu Maria juga menegaskan, “bentuk ikhlas dan mengasihi sesama meski berada dalam tekanan adalah inti dari ajaran Katolik”. Di sini saya merasa, umat muslim masih belum sepenuhnya Islam. Atau jika merujuk apa yang dikatakan oleh Dr. Zakir Naik di atas, kita terlalu gegabah menjadi Islam sebelum terlebih dahulu menjadi Nasrani.


Di akhir tulisan ini, ingatan saya tiba2 melayang kepada masa-masa genting Ahok dan Ibu Meiliana yang dipersekusi hanya gara-gara meminta agar volume azan dikecilkan. Kemudian timbul pertanyaan dari hati kecil saya, di mana letak toleransi dalam Islam?. Sejauh ini, mengacu pada kasus-kasus tersebut yang tampak lebih toleran justru kaum agama minoritas di negeri yang katanya “menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila” ini.


Berhubung dua hari lagi adalah perayaan Hari Natal, kira-kira sejauh kita mengingat, pernahkah publik dibuat ramai oleh penganut Nasrani atau agama lain berdebat soal halal-haram mengucapkan “selamat” terhadap setiap perayaan umat muslim?. Sementara setiap tahunnya, setiap tanggal 25 Desember umat Islam selalu sibuk memperdebatkan masalah halal-haram, kafir-murtad, atas ucapan “selamat Natal” terhadap umat Nasrani.


Salam damai.


Surabaya, 2018

29 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page