Oleh: Kang Aly
Tanggal 2 Oktober lalu, dunia digegerkan dengan pembunuhan brutal (sebut pembantaian) terhadap Jamal Kashoggi, seorang jurnalis senior asal Arab Saudi di kantor konsulat Saudi, Ankara, Turki. Khasoggi datang ke kantor konsulat untuk keperluan mengurus dokumen guna melangsungkan perkawinan yang rencananya dilakukan sehari setelah kedatangannya di kantor konsulat. Berbekal bukti rekaman audio, para analis menyatakan bahwa sebelum tewas Kashoggi mendapat siksaan fisik dan kemudian dibunuh dengan cara dimutilasi, yang untuk selanjutnya potongan-potongan tubuh Kashoggi dimasukkan ke dalam beberapa koper dan diterbangkan menuju Saudi. Kuat dugaan menyasar nama Pengeran Muhammad bin Salman sebagai dalang dari pembunuhan sadis jurnalis yang semasa hidupnya terkenal lantang menyuarakan kebenaran ini.
Menarik untuk dibicarakan, mengapa penguasa Saudi berbuat sedemikian sadis terhadap Kashoggi?. Padahal bisa saja Pangeran Muhammad bin Salman menghabisi Kashoggi sebagaimana Putin meracun lawannya di Inggris. Kekejaman Pangeran Muhammad bin Salman ini secara tegas memberikan pernyataan bahwa selagi seseorang berkuasa, maka halal berbuat apa saja. Kemudian dipertegas lagi dengan fakta, dimana sikap brutal tersebut tidak menuai kecaman dari banyak pihak, mengingat Saudi yang menjalin hubungan baik dengan AS di bawah Donald Trump sebagai pemerintahan paling kuat di dunia. Secara eksplisit dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya kebenaran akan kalah dengan kepentingan, begitulah mimpi buruk yang membayangi kehidupan kita dewasa ini.
Kematian Kashoggi secara tidak manusiawi ini memberikan gambaran kepada kita terkait kemerdekaan pers yang masih terus dipressing oleh kepentingan penguasa. Kashoggi semasa hidupnya memang terkenal kritis terhadap pemerintahan Saudi. Pandangan dan sikapnya seringkali membuat panas kuping penguasa. Namun dia juga merupakan sosok yang adil, dia selalu mengapresiasi atas apa yang dirasanya benar secara moral. Misalnya adalah sikap apresiatifnya atas langkah Pangeran Muhammad bin Salman yang memberikan hak mengemudi bagi perempuan dan legalisasi atas berdirinya bioskop di negeri haram tersebut. Hemat penulis, Kashoggi adalah seorang yang bekerja dengan landasan hati nurani, profesional, dan jujur.
Mengaca pada kasus pembunuhan Kashoggi yang sensasional ini, maka perlu digarisbawahi bahwasanya profesi sebagai seorang jurnalis bagi penguasa yang tiran adalah ancaman serius dan harus dilumpuhkan. Hubungkan dengan problematika nasional, selama hampir 32 tahun lembaga pers kita dibungkam oleh rezim diktator. Media massa tidak ubahya boneka kepentingan yang harus patuh terhadap perintah rezim yang berkuasa.
Pembunuhan Kashoggi harusnya mampu membangkitkan kembali kesadaran insan pers khususnya di Indonesia, bahwa biar bagaimanapun kebenaran harus disampaikan, sekalipun nyawa menjadi harga yang harus dibayar. Tidak bisa dipungkiri, sekalipun kebebasan pers sudah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 pasal 4 ayat 1 tentang kemerdekaan pers, potensi-potensi buruk masih terus membayangi dan menjadi momok mengerikan bagi profesionalitas para pekerja media, sebagaimana yang diutarakan ketua Aliansi Jurnalis Inependen (AJI), Abdul Manan pada peringatan World Press Freedom Day pada 3 Mei 2018 lalu. Dalam pidatonya dia menyampaikan, setidaknya ada tiga persoalan klasik yang dihadapi insan pers sampai sekarang, yakni minimnya upah, persoalan netralitas, dan masih maraknya kekerasan terhadap para jurnalis.
Lantas mau sampai kapan kita harus terjebak dalam mimpi-mimpi buruk tersebut?. Tentunya idealisme kita mengharapkan situasi menjadi lebih baik, katakanlah praktis setelah runtuhnya rezim Orde Baru pers memiliki ruang gerak lebih bebas, dalam arti yang seluas-luasnya. Nyatanya meskipun tidak semassif dulu, pers masih digunakan sebagai tunggangan politik. Atau terus diintai oleh potensi adanya terror dan kekerasan. Apalagi jika melihat apa yang menimpa Kashoggi, apapun akan ditempuh pihak-pihak tertentu untuk menjegal dan membungkan kejujuran.
Menjawab hal itu, mengutip apa yang pernah disampaikan Ben Bradlee, salah seorang redaktur Washington Post (1968-1991) dalam sebuah potongan sesi wawancara dengan Mike Wallace, bahwa insan pers harus kokoh bergeming di hadapan serangan-serangan yang datang dari pihak-pihak yang tidak suka dengan pemberitaan yang diterbitkan media. “(Tujuan) bisnis kita (media) bukan untuk dicintai, tapi untuk mengungkapkan kebenaran”, ujar Bradlee memberi penegasan. Saya kira apa yang dikatakan Bradlee mengandung bara yang membakar optimisme para jurnalis untuk terus menulis, melecit semangat insan pers untuk tetap konsisten menjaga independensi dan fitrah netralnya. Sungguh kebenaran harus terus disampaikan, kejujuran harus tetap disuarakan. Menulis itu melawan, bung!, Kebenaran tidak peduli betapa buruknya, tak pernah seberbahaya kebohongan dalam jangka panjang. Begitu kiranya quote sakral Bradlee yang terpampang jelas pada sebidang dinding di markas besar Washington Post.
Kiranya kita perlu mengambil tauladan dari Ban Bradlee. Dedikasinya terhadap jurnalisme diabadikan ke dalam 2 buah film berbeda dengan pola yang sama. The Newspaperman adalah film yang mengisahkan perjalanan Bradlee mengelola Washington Post, utamanya yang menjadi sorotan dalam film ini adalah pemberitaan Washington Post mengenai skandal Watergate yang akhirnya menjatuhkan Presiden Nixon, juga laporan-laporan bergenre Pentagon Papers yang mengulas kebohongan publik yang dilakukan pemerintah AS dalam perang Vietnam. Ada juga The Post, film garapan Steven Spielberg yang rilis pada 2017 dengan mengangkat tema perlawanan atas ancaman pembredelan terhadap Washington Post.
Kita perlu mewarisi semangat dan keberanian dari Kashoggi dan Bradlee. Apalagi kita yang dihadapkan dengan situasi pelik menjelang pilpres 2019. Sungguh pun profesi sebagai aktivis pers membuat hidup kita jauh dari kata nyaman dan serba dilematis, namun bukan menjadi alasan logis kita harus tunduk pada kepentingan politis atau bahkan diam atas ketidakadilan. Hanya ada dua pilihan; menyerah pada ketidakadilan atau melawan!, meminjam pilihan hidup Ned Kelly, ‘buronan’ legendaris Australia (pemberontak rezim diktator). Sebab biar bagaimanapun, pers harus terus dan tetap konsisten menjaga khittahnya, utamanya yang tercantum dalam nomor 1 Kode Etik Jurnalistik—bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Menulis itu melawan bung!, melawan rasa takut, melawan kebohongan, melawan ketiakadilan. Menulis itu melawan bung!, melawan batas-batas dalam diri kita sendiri.
Commentaires