top of page
mediarasa

Semudah itukah Kau Luluhkan Hati Perempuan?

Updated: Dec 9, 2018

Oleh : Wldaa

Tulisan ini bukan sebuah cerita pendek dan bukan pula sebuah opini penulis. Entah mengapa hati tergerak untuk menyatakan ini dalam tulisan kali ini. Sebuah pertanyaan yang terbesit seketika dalam benakku. Semudah itukah kau luluhkan hati perempuan?


Aku pernah mendengar sebuah kata ‘bahkan untuk mencintai tak lebih membutuhkan waktu tiga detik saja’. Betapa dahsyatnya sebuah gravitasi cinta bagi sebagian orang. Yang tak habis pikir, hal itu juga bisa terjadi secara berulang-ulang. Dengan senyum manis bagai taburan gula putih diatas roti nan menggiurkan. Dengan omong kosong yang dianggap memiliki beribu makna, dengan ungkapan-ungkapan dahsyat tanpa penghalang langsung tertuju pada hati si perempuan pemilik hati. Bagaimana tak bergetar? Daya tariknya sungguh luar biasa.

Apa arti mencintai bagimu?


Disini penulis ingin bercerita sedikit tentang kisah perjalanan cinta yang entah bagaimana awal mula dan bagaimana ujungnya.


Berawal dari perkenalan singkat media social yang amat teramat canggih zaman sekarang. Siapa sangka proses perkenalan yang tidak didasari niat untuk jatuh cinta itu bisa berakhir terpelosok pada jurang asmara. Semua yang terjadi pasti mempunyai alasan, begitulah yang penulis yakini. Kisah asmara seorang anak SMA dengan sosok pemuda dewasa yang sedang menempuh studi nya diluar negeri.


Sejak saat itu, pemudi itu bertekad untuk tidak lagi jatuh cinta pada selainnya. Tidak lagi menginginkan guyonan atau perasaan yang sekedar untuk kebahagiaan jangka pendek. Ia meyakini bahwa perasaannya benar-benar didasari dengan keseriusan. Begitupula dengan si pemuda. Hubungan jarak jauh dengan komunikasi yang bisa dibilang tidak lancar, namun hal itu mampu bertahan kurang lebih 2,5 tahun lamanya. Proses perjalanan yang penuh drama dan liku. Itulah yang membuat berbagai warna kehidupan menjadi kenangan yang tak dapat dihilangkan.


Singkat cerita.

Sebelum semuanya benar-benar berakhir, si pemudi tersadar akan sesuatu. Sesingkat itu sebuah perkenalan dengan proses keseriusan yang amat panjang, dan dengan akhiran yang lebih singkat lagi dari sebuah perkenalan. Ia berpikir apa arti cinta yang sesungguhnya, apa arti keseriusan yang sesungguhnya dan bagaimana semua itu dianggap mudah bagi sebagian orang. “kau mudah meluluhkan, kau pula yang mudah mematahkan”, bukankah seperti itu?


Kesedihan yang memang bukan lagi tipuan sudah ia perlihatkan pada dirinya dan beberapa orang yang ia percayai. Siapa yang kuasa dengan patahnya sebuah hati. Serasa ingin memberontak namun terhalang. Serasa ingin berteriak namun terhenti. Dalam proses perbaikan diri dan juga menata kembali hati yang berceceran, ia membutuhkan banyak sekali energi senyum palsu dan kemunafikan. Ia terus berpura-pura sampai ia lupa jika sedang melakukannya. Pertanyaan terlintas dalam benaknya, “Apakah kau sama halnya denganku, yang melulu bertopeng ‘baik-baik saja’ untuk menata hati?”


Berjalan lurus dengan kompas di genggaman walau tak lagi berfungsi sebagai penunjuk arah. Rintangan ditengah perjalanan bukan untuk dihindari, namun untuk dihadapi. Sekarang, ia bukan lagi pemudi SMA yang memiliki cita cinta satu tujuan dan pasrah pada ketentuan hati. Ia adalah pemudi yang tak lagi mempercayai bualan cinta seorang makhluk. Bahkan parahnya lagi ia pernah tak percaya pada kekuatan doa cinta sang makhluk pada Tuhannya. Rasa cinta yang terlalu dalam itu ia berikan pada seseorang yang mematahkan hatinya. Bodohnya lagi, tak ada yang mampu membuatnya sembuh dari luka itu, selain ia. Begitulah yang pemudi itu katakan.


Proses mencari jati diri yang sesungguhnya ia telusuri. Bagaimana cara berfikir yang panjang, bagaimana cara mengenal diri sendiri, mengenal orang lain, bersikap pada orang lain. Melihat kisah sebagian orang yang mudah membuka hati, juga mudah menyembuhkan luka, mudah melupakan dan mudah sekali kembali pada keadaan awal. Seolah kesedihan itu hanya mampir dan singgah beberapa menit saja tanpa meninggalkan bekas apapun.


“Kenapa aku tak semudah itu?” kata pemudi itu dalam hatinya sambil berkaca.

Gertakan hati sedikit muncul, keinginan untuk mencintai orang-orang baru. Ia melakukan uji coba terhadap hatinya. Secara rasional, mencintai memang bisa dengan waktu yang singkat, tapi hati yang menentukan ia menetap atau hanya singgah sebagai perasaan yang semu. Beberapa kali ia coba mencintai dan dicintai, namun lagi-lagi ia hanya mampu berjalan pulang pada cita cinta satu tujuan yang tak lain adalah sang pemilik hati.


Lalu bagaimana cara berpura-pura untuk tidak mencintai agar dicintai?

Saat ia mencoba untuk menjadi sosok yang jauh berbeda dari yang dulu, mencari kebenaran tidak melalui syariah agama, melainkan dari pemikiran-pemikiran. Ia menemukan satu kebenaran dari proses panjang itu. “saat kau menaruh cinta, kau juga menaruh granat yang kapan saja bisa meledak saat tak sengaja kau injak”. Itu hanya berlaku saat seseorang menaruh hati pada sesamanya.


Selain cinta, apalagi yang lebih besar bagi arti kehidupan hati perempuan?

Menjadi hina, menjadi rendah, menjadi sosok yang jauh dari kata lumrah, kalah dengan keagungan cintanya. Semua tak lagi ada batasan. Saat pandanganmu kau lepas tanpa ada keraguan, bersiaplah untuk menginjak granat itu. Saat rasamu kau biarkan berkeliaran, bersiaplah untuk melihat serpihan granat bertaburan. Dan saat kepercayaan itu kau abaikan, bersiaplah mendengar ledakan dahsyat granat yang tertimbun rapi dalam tanah. Semua itu tanpa disengaja. Dan itu mudah saja.

Malam semakin kelam, perjalanan pemudi itu tak terhenti sampai disini saja. Ia belajar mempercayai beberapa temannya, percaya dalam hal pergaulan hingga masalah percintaan. Semua orang memiliki kisah masing-masing yang berbeda. Perbedaan itulah yang kemudian ia jadikan pelajaran untuk memahami orang lain sesuai kapasitas kemampuannya.


Satu dua malam berlalu, menjadi kelelawar pada malam hari dan menjadi mahasiswi pada umumnya di siang hari. Yap! Hari memang panjang, sangat disayangkan jika waktu yang panjang itu hanya dihabiskan dengan duduk santai dalam kelas, kemudian pulang duduk lagi diatas ranjang kamar kost, main hp lupa waktu, tidur dan makan. Ibadah pun tak seberapa, lalu apa? Ada suatu malam yang mempunyai keheningan, terbebas dari ocehan kemunafikan seorang hamba. Ada tujuan didalamnya, dan ia berusaha menggapai itu.


Menggapai asa sebuah cinta, tak pernah ada jalan yang benar-benar mudah untuk mendapatkan hal yang besar dan sempurna. Ia bersyukur telah diberikan satu cinta dengan pelajaran yang penuh berharga. Ia tak lagi menginginkan hal yang mudah, seperti mudahnya mencintai dengan waktu tiga menit saja. Ia tak lagi menginginkan hal yang mudah, seperti mudahnya menyembuhkan luka dengan melupakan. Ia juga tak menginginkan hal yang mudah lagi, seperti mudahnya menghapus rasa dengan menggantinya.


Tak perlu lagi. Ia percaya pada hatinya. Inilah seni mencintai yang sebenarnya.

“Saat aku benar-benar mencintai, biarku lakukan dengan caraku. Bagaimana cara ia membalas, itu urusannya. Tugasku hanya satu, mencintainya sepenuh hati”.

124 views4 comments

Recent Posts

See All

4 Comments


Wilda
Wilda
Dec 02, 2018

Terima kritik dan saran juga loh kak, apalagi semangat dari kaka nya. 😍😅

Like

Niswa Qoiyyimah
Niswa Qoiyyimah
Dec 01, 2018

Oke makasih bnyak 😁

Like

mediarasa
Nov 30, 2018

Boleh dong :) , silahkan kirim request ke e-mail kami mediarasa@mail.com :D

Like

Niswa Qoiyyimah
Niswa Qoiyyimah
Nov 30, 2018

Boleh request kah? 😊

Like
bottom of page